Bisnis.com, JAKARTA - Bila suatu ketika Anda berkunjung ke wilayah Sumba, Nusa Tenggara Barat, jangan kaget jika banyak menemukan kuburan batu yang bertebaran di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan.
Tidak hanya di sepanjang jalan, Anda juga dapat menemukan batu kubur yang menghiasi pekarangan rumah-rumah penduduk.
Batu kubur merupakan bagian dari kebudayaan dan adat istiadat pemeluk agama Marapu. Warisan leluhur ini diturunkan secara turun temurun hingga saat ini. Ukuran batu kubur megalitik yang bervariasi, ternyata disesuaikan dengan strata sosial suatu keluarga. Kasta sangat menentukan besar kecilnya batu kubur yang dibangun.
Chris Turu, tokoh adat di Sumba Barat, menuturkan Marapu merupakan agama kepercayaan yang dianut sebagian besar masyarakat Sumba Barat hingga saat ini.
Sebanyak 40% masyarakat Sumba Barat beragama Marapu. Sisanya beragama Kristen, Katolik, dan Islam. Mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumba Barat yang sekarang ini genap berusia 80 tahun ini menyatakan batu kubur dibuat dari batu yang berukuran besar, yang kemudian dipotong berbentuk persegi panjang.
Di setiap batu kubur yang berukuran besar ada pintu khusus yang bisa dibuka untuk memasukan jenazah, atau bisa juga dengan dibuka di bagian atasnya. Pada bagian depan dan belakang batu kubur, terdapat berbagai simbol binatang, seperti sapi, kerbau, ayam, dan lainnya yang menyimbolkan kesenangan dari orang yang meninggal dunia, atau dari tingkat keturunannya.
Jika Anda melihat batu kubur yang berukuran besar, ternyata di dalam batu kubur tersebut tidak hanya dimakamkan satu jenazah saja. Melainkan hingga 10 jenazah.
Saat ada warga yang meninggal, maka batu yang selesai dibuat ini, ditarik ke lokasi yang akan dijadikan makam. “Untuk proses penarikan batu kubur, melubanginya, dan lainnya cukup memakan waktu lama dan biaya besar. Bisa sampai ratusan juta rupiah, tergantung dari besarnya batu, dan berapa ekor ternak yang disediakan,” ujar Chris, saat ditemui di kediamannya di Sumba Barat, belum lama ini.
Keberadaan makam batu kubur ini tidak di satu lokasi, tapi tersebar di beberapa penjuru seperti di halaman rumah menggambarkan kedekatan satu keluarga.
Tradisi masyarakat Sumba meyakini bahwa orang yang sudah meninggal masih berada dan melindungi yang masih hidup. Tidak ada rasa ngeri melihat batu kubur yang menghias halaman. Masyarakat justru menganggapnya biasa dan bahkan menjadikan permukaan makam sebagai tempat menjemur padi atau lainnya.