Bisnis.com, JAKARTA - Semakin mudahnya komunikasi lintas batas negara saat ini, makin terbuka pula peluang terjadinya pernikahan multikultural. Banyak pasangan berbeda kewarganegaraan yang memutuskan untuk berumah tangga dengan segala konsekuensinya.
Tentunya, mengawali bahtera rumah tangga dengan segala perbedaan latar belakang ras, budaya, dan adat istiadat memiliki tantangan tersendiri. Apalagi, jika pasangan berbeda kewarganegaraan tersebut dihadapkan pada persoalan membesarkan anak.
Lantas, bagaimana pasangan multikultural sebaiknya membesarkan anak mereka? Apa yang harus dilakukan untuk menghindari manifestasi konflik akibat perbedaan nilai hidup (value) masing-masing orangtua?
Psikolog anak dan keluarga dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) Mira D. Amir mengatakan pada dasarnya tidak ada dua individu di dunia ini yang benar-benar sama. Bahkan, anak kembar identik pun juga memiliki perbedaan.
“Nah, kalau kembar identik saja berbeda, apalagi mereka yang memiliki latar belakang etnis, budaya, dan warga negara yang berbeda. Dari segi peraturan perundang-undangannya saja sudah tentu berbeda,” jelasnya.
Tantangan bagi pasangan multikultur biasanya muncul saat mereka harus mengasuh anak. Mira menyebutkan gaya mengasuh seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana dia dibesarkan sewaktu kecil.
Untuk itu, pasangan berbeda kewarganegaraan disarankan untuk tidak kaku berpegang pada bagaimana dulunya mereka dibesarkan. Sebaiknya, orangtua merumuskan bersama soal gaya parenting, dan membuat formulasi baru yang menyamakan visi dalam membesarkan anak.
“Mereka tidak bisa begitu saja mencomot gaya parenting saat mereka dibesarkan. Sebab, kondisinya bisa jadi berbeda karena pada saat mereka dibesarkan, mereka berada dalam naungan orangtua yang tidak berbeda kewarganegaraan.”
Mira mengatakan sejak awal orangtua berbeda kewarganegaraan harus dapat menentukan gaya mendidik dan membesarkan anak.
Ada tiga pilihan yang biasa ditempuh, yaitu otoriter, ‘permisius’, dan demokratis. Selain merumuskan bersama gaya parenting, orangtua dengan latar belakang berbeda disarankan untuk benar-benar dapat mengaplikasikan dan menunjukkan sikap toleransi yang tinggi kepada anaknya.
TOLERANSI
Menurut Mira, anak dari pasangan multikultur memiliki keuntungan tersendiri dibandingkan anak pada umumnya. Biasanya, mereka akan lebih mampu bersikap terbuka, dan tumbuh dengan rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan.
Akan tetapi, keuntungan tersebut baru bisa dicapai apabila orangtuanya tidak memaksakan kehendak atau saling mendominasi satu sama lain dalam menerapkan nilai-nilai kehidupan sesuai yang mereka anut.
Dia mencontohkan seorang pria berbudaya Barat yang menikah dengan perempuan Indonesia. Bagi ibunya, tidur dengan anak adalah hal biasa sebagai momentum membentuk ikatan dengan buah hati. Namun, bagi si ayah, sikap tersebut tidak mengajarkan kemandirian.
“Kalau salah satu lebih mendominasi, itu akan jadi kontraindikasi. Si anak hanya akan belajar nilai-nilai yang keliru dan penghayatannya akan menjadi negatif,” katanya.
Untuk itu, para orangtua yang berasal dari dua kultur yang berbeda harus berusaha mencari jalan tengah agar perbedaan itu tidak menjadi sesuatu hal yang ditonjolkan. Dengan demikian, anak juga belajar untuk menghargai setiap perbedaan yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari []