Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah kesibukannya menggarap Film Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2, Sutradara Riri Riza menjabarkan pandangannya tentang film anak Indonesia kepada Bisnis.com.
Bagi Riri Riza, bekerja dan menggarap film dengan anak-anak adalah hal yang menarik. Berikut hasil wawancaranya:
Apa saja kendala dalam produksi film anak?
Sebenarnya sampai hari ini, kalau menurut saya belum ada yang benar-benar namanya film anak murni. Adanya film keluarga, atau film yang harus ditonton bersama orang tua.
Kalau analisis saya kenapa sampai sekarang film anak diputar sangat jarang, karena bekerjasama dengan anak-anak dan dewasa adalah dua hal yang sangat berbeda. Pertama, dalam menulis cerita tentang anak harus mempertimbangkan banyak hal, seperti makna cerita dan edukasi yang harus dapat dipetik secara sederhana oleh anak-anak.
Selain itu pola komunikasi yang dijalin dalam proses produksi juga harus berbeda. Bahkan, lingkungan dan jam gerak anak juga memiliki pola yang teratur tidak seperti dewasa. Jadi kru dan pemain lain harus banyak yang menyesuaikan.
Kemudian permasalahan lain yakni waktu penayangan. Sineas biasanya hanya memiliki waktu untuk penayangan film anak saat musim libur tiba. Selebihnya anak-anak zaman sekarang terlalu disibukan dengan kegiatan sekolah, sedangkan akhir pekan adalah saat yang tepat istirahat di rumah.
Bagaimana dengan potensi pasar akan film anak di Indonesia?
Film anak di sini memiliki potensi yang baik, sayangnya jika kita berbicara film layar lebar. Bioskop hanya dekat dengan anak-anak perkotaan. Sedangkan yang di daerah sangat susah menjaring jika kita membandingkan dengan film luar yang arus iklannya sangat deras. Bagi anak-anak jika sudah menonton di televisi ya sudah cukup. Padahal industri ini butuh disemarakan dengan banyak pihak paling utama adalah penonton.
Tidak usah kita berbicara di darah, di perkotaan saja, film anak Indonesia terkadang masih tenggelam dengan film anak luar. Padahal kalau kita lihat, kontennya hampir sama. Namun, kekuatan film asing yang masih susah dikejar adalah teknologi audio visual yang super canggih dan tentu budjet yang tidak murah. Di luar minimal bujet film sekarang US$50 juta--US$100 juta, film apapun ya termasuk film anak, di Indonesia hanya Rp5 miliar--Rp7 miliar.
Kemudian, promosi juga sangat menjadi kekuatan film asing. Promosi di sini tidak hanya sekadar iklan saja ya, karena termasuk strategi menjadikannya hadiah dalam paket sebuah makanan tentu akan sangat menarik minat anak-anak. Mudahnya figur-figur didapat di toys store juga menjadi nilai plus sendiri. Ya, padahal kalau kita bicara film anak, film asing hanya menjual tokoh kartun yang lucu, beda kita dengan Indonesia yang selalu menjual cerita. Jarang film anak di luar negeri yang sukses di sini selain kartun kan.
Lalu apa strategi yang dapat dilakukan sineas untuk dapat bersaing?
Saya selalu bingung kalau ditanya hal ini ya, begini saja saya kasih gambaran, waktu itu 2012 saya pernah menjadi salah satu juri di festival film di Iran. Saat itu saya belajar, di sana banyak sutradara yang fokus dengan film masuk menjadi nominasi. Artinya, biasanya sutradara yang cerdas yang lebih memiliki hasrat untuk mengembangkan film anak di negaranya masing-masing.
Lain lagi cerita di Jepang, di sana bahkan sineas yang serius menggarap film anak dan pemerintah setempah setuju dengan idenya akan memberikan bujet khusus yang tidak sedikit. Itu luar biasa sekali saya rasa. Negara yang seperti itu berarti negara yang konsen akan pendidikan masa depan bangsa yang akan menjadi penerusnya.
Berarti pada intinya apa yang harus selalu dipersiapkan sineas dalam membuat film anak di tengah keadaan pemerintahan dan negara seperti di Indonesia?
Sineas harus cerdas mengangkat satu tema yang dekat dengan anak Indonesia. Kita punya banyak cerita daerah, seperti timun mas, tangkuban perahu yang bisa dikupas dengan teknologi canggih yang tidak akan kalah dengan produk lokal.
Namun, ya tetap saja tolong tetap serius menggarap ini. Jika hanya asal-asalan mending tidak usah. Sayang, tema yang sudah bagus kalau tidak digarap dengan sineas yang bagus pula.
Saya rasa kesuksesan laskar pelangi kemarin juga karena tema cerita yang dekat dengan anak-anak, bahkan saya tampilkan autentik dengan anak-anak daerah tersebut dan pemandangan alam yang asli milik Indonesia, yang memikat anak-anak untuk berlibur ke daerah tersebut serta dibarengi dengan lagu-lagu yang dapat memberi semangat atau edukasi untuk selalu bergerak maju ke depan.
Bagaimana dengan pengalaman membuat film anak-anak?
Sejauh ini aku sangat menikmati, meyelami dunia anak, bekerja dengan anak adalah satu hal yang menarik buat aku. Apalagi aku sekarang ayah dari dua orang anak. Intinya yang paling penting kalau mau membuat film anak yang sukses bentuk kru yang dapat menyesuaikan kerja dengan anak.
Jadi di lokasi syuting, anak tidak terbenani dengan tuntutan peran dan hasilnya akan lebih natural.
Syarat membuat film anak yang berkualitas serta sukses di pasaran?
Syaratnya intinya anak-anak itu bukan obyek yang bisa kita peras, buat mereka untuk bekerja senatural mungkin. Anak-anak adalah anak-anak. Mereka tidak bisa kita suruh berperan dewasa, biar anak-anak bekerja dengan kemampuannya masing-masing. Film yang baik adalah yang mampu menampilkan sesuatu yang dekat dan tepat baik dari segi cerita atau tokoh.
Kemudian, teknologi, ya Indonesia harus banyak belajar untuk dapat sejajar dengan teknologi film asing. Namun, sebenarnya kita bisa, tinggal dukungan dari berbagai pihak saja utamanya pasti pemerintah.
Saya itu dari dulu punya cita-cita Kementerian Pendidikan punya satu fokus yang benar-benar menangani tentang film anak. Pemerintah tersebut dapat menggandeng banyak sineas hebat yang ahli dalam bidang ini seperti Mira Lesmana, Nia Zulkarnain atau yang lainnya.
Kolaborasi yang hebat antara pemangku kepentingan dan sineas pasti akan lebih menghasilkan sesuatu yang tegas. Dalam artian tegas mendidik dan mengarahkan anak Indonesia mendapat hiburan tontonan yang layak.