Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Kesenian Jakarta tetap menyelenggarakan pembacaan naskah drama dan diskusi berjudul Album Keluarga#50Tahun1965, meski sempat ada pelarangan melalui surat bernomor B/19811/XII/2015/Datro. Sikap ini sebagai bentuk perlawanan para seniman atas intimidasi untuk berkesenian.
Pembacaan naskah drama dan diskusi berjudul Album Keluarga#50Tahun1965 yang sedianya dilakukan Selasa (8/12) malam di Lobi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diganti pada Rabu (9/12) malam di panggung Museum Temporer Rekoleksi Memori.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno mencatat pelarangan atas kegiatan berkesenian ini bukan kali pertama terjadi. Pada program Indonesia Menonton SENYAP di berbagai penjuru Indonesia yang didukung DKJ dan Komnas HAM sejak 10 Desember 2014, sampai hari ini tercatat 34 kasus pelarangan atau pembatalan pemutaran film karena sebab dan berbagai alasan.
Dia memandangan persoalan tragedi 1965 merupakan tragedi kemanusiaan yang memiliki dimensi yang sangat luas. Sehingga, jauh dari ideologi seperti yang dikhawatirkan Keluarga Besar Teater Jakarta Peduli FTJ. Menurut dia, tema tragedi kemanusian dan intrik politik di dalamnya sebenarnya telah lama dipanggungkan dalam teater klasik.
Irawan menegaskan semestinya perbedaan pendapat dalam berkesenian dapat diselesaikan melalui cara-cara berkesenian yakni dialog dan diskusi.
"Kami tidak tunduk pada intimidasi. Kalau kami tunduk, maka kami akan dikutuk sejarah dan masa depan. Kami ingin membangun paradigma yang lebih baik," harapannya.
Ketua Keluarga Besar Teater Jakarta Peduli FTJ Zak Sorga merasa keberatan dengan program, pembacaan naskah drama dan diskusi berjudul Album Keluarga#50Tahun1965 sebagai rangkaian dari FTJ 2015. Sebab, ini tidak sesuai dengan semangat FTJ sebagai kampus berkesenian sejak 43 tahun silam. Baginya, FTJ seperti ekstrakulikuler dari para seniman di luar pendidikan resmi.
Program tersebut tidak seharusnya diselenggarakan sebagai rangkaian FTJ, tetapi diselenggarakan di ruang diskusi lain dan khusus membahas tentang hal tersebut. Dia khawatir jika tema ideologi dibiarkan masuk dalam program FTJ, maka ideologi lain akan masuk dalam program ini.
Kalau film itu diyoutube, itu milik umum. Kalau sudah masuk ruang pribadi [FTJ], saya gakmau. Hormati kami, kata Sutradara Teater Kanvas ini.
Ketua Komite Teater DKJ Dewi Noviami menuturkan tema ini dipilih karena kepedulian terhadap pembongkaran sejarah 1965. Menurutnya, tidak banyak teater yang mengangkat tema dan naskah seputar tema ini. Sementara tidak banyak upaya negara untuk membongkar dan meluruskan sejarah ini.
Dipenjara, diperkosa, disiksa, stigmatisasi korban 65. Alasan ini yang membuat kami tidak perlu berdiskusi panjang lagi untuk menyepakati menulis tema ini, katanya.
Dewi menjelaskan ada 10 peserta dalam program ini, yang datang dari Jakarta, Tasikmalaya, Surabaya, Lumajang, dan Bali. Bengkel penulisan naskah drama sudah berlangsung selama dua bulan. Para peserta melakukan riset tentang para korban yang berasal dari lingkungan terdekat mereka. Selanjutnya, tiap penulis mengekpresikan apa yang meresahkan mereka melalui naskah. Rencananya, Desember ini karya naskah tersebut dapat didistribusikan kepada publik.
Benny Johanes mengatakan Naskah ini untuk para korban untuk mendapat ruang artikulasi. Hasil workshop sendiri sebagai respon dari generasi yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Respon ini sebagai bentuk rekoleksi dalam ingatan yang menandakan ingatan tidak bisa dihapus, dimana pernah berlangsung konflik ideologi diantara kelompok elite yang kemudian merambah pada konflik horizontal, dan menyisakan stigma. Rekoleksi melahirkan sikap. Ada yang memberi advokasi maupun simpati.
Ini kegiatan profesional dari penulis naskah drama. Aktifitas utamanya adalah melakukan ekspolari pemikiran," terangnya.
Menurutnya, sikap melapor secara sepihak adalah sikap yang seolah mencari kebenaran sendiri. Sementara sikap berkesenian menggunakan pola duduk bersama membuka perspektif untuk dibahas bersama. Ini yang menjadi pokok, katanya lugas.