Bisnis.com, JAKARTA - Sekitar tiga tahun belakangan ini, Pemprov DKI Jakarta gencar melakukan upaya revitalisasi gedung-gedung cagar budaya warisan kolonial untuk dihidupkan menjadi wadah-wadah komunitas maupun ruang pertunjukan seni.
Upaya tersebut langsung disambut hangat oleh berbagai penggiat seni, baik badan, perseorangan, maupun komunitas. Sebab, dengan direstorasinya gedung-gedung tua tersebut, mereka memiliki alternatif ruang presentasi yang lebih bervariasi.
Budayawan Djaduk Ferianto menilai upaya DKI tersebut patut diapresiasi, agar kegiatan berkesenian dapat menjangkau segala kalangan dan tidak terpusat di satu atau dua titik saja, seperti Taman Ismail Marzuki.
Putra bungsu seniman senior Indonesia, Bagong Kussudiardja, itu berpendapat kota-kota lain yang memiliki problema dengan gedung-gedung tua yang mangkrak dapat meniru langkah DKI. Berikut penuturannya:
Apakah membuka alternatif tempat pertunjukan dengan menggunakan gedung-gedung tua itu memang efektif untuk membangkitkan geliat komunitas seni?
Ya, sebenarnya [restorasi gedung tua] ini sudah menjadi agenda lama dari beberapa kota besar. Mereka ingin mengambil manfaat dari bangunan-bangunan yang tidak layak menjadi tempat pertunjukan.
[Upaya ini] sebenarnya sudah muncul sejak dekade 1970-an. Sebagian kalangan ingin pengelolaan [gedung-gedung tua] dilakukan oleh masyarakat atau seniman untuk dijadikan ruang presentasi.
Di Jerman, bekas-bekas gedung tua seperti bekas pabrik roti atau gudangyang dikelola pemerintah setempat diberikan kepada semacam Karang Taruna di sana. Setiap kecamatan diberikan kesempatan dan tanggung jawab untuk mengelola tempat tersebut sebagai ruang pertunjukan.
Menariknya, di sana Karang Taruna-nya dibiayai oleh pemerintah setempat. Itulah yang ingin dicontoh oleh Indonesia untuk menciptakan kantong-kantong budaya yang lebih banyak dan tidak terpusat.
Sebelumnya, pernah ada desain untuk menjadikan daerah Kota Tua Jakarta sebagai pusat kesenian. Namun, implementasinya baru mulai berjalan selama 3 tahun terakhir. Menurut saya, itu menarik sekali.
Sebab, pada akhirnya tempat-tempat pertunjukan tidak akan terpusat di beberapa titik seperti Gedung Kesenian Jakarta atau Taman Ismail Marzuki saja. [Akan ada] Banyak tempat alternatif, termasuk di bekas gedung-gedung bersejarah.
Apa implikasi upaya ini bagi komunitas seni?
Tentunya, ruang-ruang berkesenian tidak terpusat pada satu titik. Komunitas yang begitu banyak itu akhirnya bisa tampil di tempat-tempat lain, ada banyak kantong-kantong budaya, tidak harus mengantri untuk tampil.
Dulu, upaya ini pernah dicoba ketika era [Gubernur] Ali Sadikin dengan membangun Gelanggang Remaja. Namun, sekarang ini sepertinya sudah tidak berjalan lagi, karena kendala perawatan dan operasional.
Selain merestorasi, apa yang harus dilakukan untuk melanggengkan geliat berkesenian di DKI?
Jangan hanya membangun fisiknya saja. Tentunya harus ada proses pelatihan kepada orang-orang yang mengelola gedung-gedung yang sudah direstorasi itu. Buatlah program dan sosialisasikan kepada para pelaku seni yang akan mengakses tempat tersebut.
Ketika sudah dibuat suatu program, dengan sendirinya kegiatan akan terus berlangsung. Hal itu sekaligus memberi kesempatan bagi para pelaku seni untuk mempunyai medium atau [pilihan] ruang presentasi yang lebih banyak.
Bagi seorang seniman, apakah ada perbedaan sensai atau nilai lebih yang dirasakan saat tampil di gedung-gedung tua apalagi yang punya nilai sejarah? Atau hanya sekadar gimmick saja?
Prestise sebuah tempat pertunjukan tidak diukur dari umurnya saja. Kalau dia dikelola dengan benar dan ada kuratornya, pasti akan membawa nilai yang sangat tinggi. Disamping punya nilai historis, kami punya kebanggaan bisa main di tempat tersebut.
Misalnya saja, beberapa waktu lalu, saya tampil di sebuah gedung bersejarah di Florida yang usianya sudah 325 tahun. Tidak sembarang orang bisa tampil di gedung bersejarah, dan saya berksempatan main di sana. Bagi saya, itu adalah suatu penghargaan.
Apakah sebaiknya strategi restorasi gedung tua sebagai tempat pertunjukan seni ini dicontoh oleh daerah-daerah lain yang punya masalah dengan gedung-gedung tua yang mangkrak?
Saya melihat potensinya memang ke arah sana. Sebab, membuka ruang alternatif bagi seniman akan menjembatani masalah jarak antarkomunitas.
Sebaiknya memang kantong-kantong kesenian itu tersebar di setiap daerah. Tinggal bagaimana pengelolanya saja. Bayangkan saja, misalnya, teman-teman seniman di Depok tidak perlu lagi jauh-jauh ke TIM untuk tampil.
Di beberapa kota, seperti Jogja, upaya tersebut sebenarnya sudah ada. Kalau di Jogja malah restorasi itu tidak menggunakan bantuan pemerintah.
Ruang-ruang alternatif [di Jogja] itu justru diinisiasi oleh para seniman. Mereka yang berinisiatif memanfaatkan banyak tempat tua. Akhirnya, gedung-gedung pertunjukan tidak terpusat di satu titik, ada banyak galeri seni yang bisa digunakan.