Aksi corat-coret antar pelajar SMA usai Ujian Nasional/Antara-Septianda Perdana
Health

Memetik Pelajaran Berharga dari Kasus Sonya Depari

Wike Dita Herlinda
Minggu, 24 April 2016 - 07:58
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Belum lama ini, publik dihebohkan oleh Sonya Depari, seorang remaja asal Medan yang menjadi buah bibir setelah mengaku-ngaku sebagai anak jenderal ketika ditertibkan oleh seorang polisi wanita saat konvoi usai menjalani Ujian Nasional.

Kejadian tersebut terekam video, yang beredar luas di jagad maya, serta berkali-kali menjadi tayangan di televisi. Imbasnya, Sonya pun menjadi korban empuk cyberbullying dan amuk massal di media dalam jaringan (daring).

Ironi berlanjut saat ayah gadis yang berprestasi di dunia modelling tersebut meninggal dunia tidak lama setelah kejadian tersebut. Spekulasi dan rumor yang beredar, wafatnya sang ayah dipicu tekanan akibat tidak kuat menyimak pemberitaan negatif seputar putrinya.

Di balik kejadian tersebut, ada banyak pesan moral dan pelajaran sosial yang dapat dipetik, khususnya oleh para orangtua yang memiliki anak remaja korban cyberbullying serta masyarakat pada umumnya dalam berperilaku di dunia maya.

Pelajaran pertama yang dapat diambil adalah bagaimana mendidik anak agar tidak memiliki sifat mentang-mentang alias mengandalkan posisi dan jabatan sebagai tameng untuk berkelit dari kesalahan. Kuncinya adalah pendidikan soal tanggung jawab.

Psikolog Klinik Terpadu Universitas Indonesia Ratih Zulhaqqi menjelaskan memang ada banyak hal yang harus diajarkan kepada anak terkait nilai-nilai kehidupan (living values). Salah satu yang paling penting adalah value mengenai perilaku bertanggung jawab.

"Artinya, anak harus mendapatkan informasi mengenai apa itu perilaku bertanggung jawab dan bagaimana contoh konkret mengenai hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi kebiasaan," paparnya.

Di samping itu, lanjut Ratih, anak juga harus dibiasakan untuk melakukan sesuatu secara mandiri dan diberikan masukan positif yang membangun agar dia dapat melihat sebuah permasalahan secara lebih tepat guna mencari alternatif solusi.

"Ketika [tanggung jawab itu] sudah menjadi kebiasaan dan terinternalisasi [dalam diri anak], maka ketika mereka melakukan kesalahan, mereka akan berusaha untuk bertanggung jawab dan menghadapinya secara mandiri dan tidak mengandalkan orang lain," ujarnya.

Menelaah kasus Sonya Depari tidak lepas dari melihat refleksi masyarakat di dunia maya, yang cenderung impulsif dan mudah menghakimi orang lain jika muncul sebuah pemberitaan. Tanpa disadari, perilaku mereka memberi tekanan berat terhadap obyek pemberitaan.

Netizen akan selalu memberikan respons terhadap sebuah pemberitaan. Tak jarang, mereka akan bersikap reaktif terhadap suatu pemberitaan. Dalam kasus Sonya, ada baiknya netizen berpikir lebih bijak mengenai dampak respons mereka terhadap obyek pemberitaan.

Dampak psikologis terhadap Sonya dalam kasus ini kemungkinan akan muncul dalam dua hal; yaitu dampak cyberbullying dan grieving atas kehilangan ayah.

"Bagaimana bentuk dampaknya belum bisa dipastikan, karena akan berbeda-beda pada tiap individu," kata Ratih.

Bagaimanapun, dia memperingatkan dampak paling parah yang bisa terjadi adalah apabila anak yang menjadi sasarancyberbullyingtersebut mengalami trauma bahkan depresi berat, karena tidak mampu mengatasi tekanan.

Lepaskan Trauma

Lebih lanjut, Ratih menjelaskan korban cyberbullying bertendesi menderita post traumatic stress(PTS), seperti merasa sedih dan marah, menarik diri dari lingkungan, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana cara melepaskan diri dari trauma tersebut?

"Hal yang dapat dilakukan [korban] untuk lepas dari kondisi ini adalah menghadapi segala kondisi dan tetap beraktivitas seperti biasa. Cara ini disebut juga dengan fight response," jelasnya.

Adapun, hal lain yang dapat membantu mengurangi trauma adalah selalu berpikir positif atas apapun yang terjadi. Jika memungkinkan, pastikan korban memiliki orang terekat yang bisa selalu diajak berdiskusi atau bisa juga mengunjungi psikolog.

Tindakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana keluarga menindaklanjuti apa yang menimpa anak yang menjadi korbancyberbullying. Menurut Ratih, keluarga sebaiknya tidak menempatkan korban pada posisi orang yang paling bersalah.

Sebab, yang lebih penting untuk dilakukan ketimbang terus bergumul dalam trauma adalah bagaimana menjalani kehidupan selanjutnya secara lebih berkualitas dan perlahan-lahan melepaskan kedukaan terkait kejadian yang menimpanya.

Ratih mengungkapkan biasanya dibutuhkan waktu antara 36 bulan untuk dapat beradaptasi dengan kejadian yang berpotensi traumatik. Sehingga, kondisi psikologis korban akan membaik secara perlahan selama dia mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya.

Hal lain yang disarankan adalah meluangkan lebih banyak waktu untuk dapat melakukan hal-hal yang disukai secara berkala untuk mengobati luka hati. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengembalikan keadaan menjadi normal.

Namun, satu hikmah yang dapat dipetik dari kejadian tersebut adalah bagaimana kita lebih bijak dalam bertutur kata dan berperilaku saat menghadapi sebuah permasalahan. Sebab, kita tidak akan pernah tahu kapan sikap kita akan berbalik menjadi senjata yang menyerang kita.

"Pelajaran yang berharga bagi Sonya adalah selalu memahami makna dari berpikir sebelum bertindak dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten," tutur Ratih.

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro