Semakin banyak orang tua modern yang ingin memiliki anak pintar. Oleh karena itu, mereka mulai berpikir untuk menyekolahkan anak-anaknya sejak dini, bahkan pada usia di bawah satu tahun.
Sekolah-sekolah khusus bayi pun kian menjamur di perkotaan, dengan biaya pendidikan yang tidak murah, bahkan tak jarang lebih mahal dari biaya sekolah tingkat lanjut. Namun, hal itu tidak menciutkan minat para orang tua modern.
Apalagi, tren menyekolahkan bayi juga sudah marak di kalangan selebritas. Hal tersebut turut memicu keinginan orang tua dari kalangan biasa untuk menyekolahkan anak-anak mereka sedini mungkin.
Namun, bagaimana dampak menyekolahkan anak pada usia bayi terhadap perkembangan psikologisnya? Berikut penuturan psikolog anak dan keluarga dari Mediacare Clinic Jakarta, Anna Surti Ariani:
Perlukah menyekolahkan bayi di bawah 1 tahun? Jika dilihat dari fase tumbuh kembangnya, apakah bayi di bawah setahun sudah bisa disekolahkan?
Kalau kita bicara sekolah usia dini, sebenarnya yang menjadi penting isunya bukan sekadar masalah stimulasi [psikomotorik] saja. Namun, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, soal keamanan. Kalau misalnya orang tua bayi tersebut keduanya bekerja, lalu bayi ditipkan kepadababysitteryang notabene bukan keluargatentunya orang tua tidak bisa memastikan keamanan bayinya.
Nah,sebetulnya, dengan adanya orang selainbabysitter, itu sudah ikut membantu menjaga si bayi supaya aman. Salah satu cara supaya ada tambahan orang untuk menjaga bayi tersebut adalah dengan menyekolahkan.
Di sekolah ataudaycare,pastinya ada guru-guru yang mengamati, menjaga, dan mengasuh si bayi tersebut dalam beraktivitas supaya dia tetap aman. Kalau misalnya aspek keamanan menjadi isu [pertimbangan ortu yang sibuk], bisa saja bayi tersebut disekolahkan.
Namun, kalau keamanan tidak menjadi isu [bagi orang tuanya]dalam arti orang tuanya masih mampu mengasuh dan mendidik secarafull timesendirisebaiknya tidak perlu disekolahkan. Jadi, hal pertama yang menjadi pertimbangan adalah aspek keamanan.
Kedua, soal stimulasi. Anak dalam seribu hari pertamanya, dia harus distimulasi.Nah, terkadang orang tua tidak ada ide sama sekali bagaimana cara menstimulasi anak.Nah,sekolah bisa menjadi salah satu alternatif untuk membantu orangtua menstimulasi anak.
Sebab, sebetulnya sekolah-sekolah bayi tahu apa yang dibutuhkan untuk menstimulasi bayi di bawah satu tahun. Misalnya, dia diajarkan berguling, merangkak, berdiri, atau merosot. Itu semua adalah stimulasi untuk motorik yang menjadi dasar dari segala kecerdasan yang lain.
Ketiga,soal kemampuan bersosialisasi. Sebetulnya, pada dua tahun pertama, anak masih belum bisa perhatian terhadap orang lain. Dalam arti, apa yang dilakukan masih ego sentris; perhatiannya terpusat pada hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri.
Misalnya, anak hanya akan memperhatikan orang yang menggendong dirinya, dia tidak akan terlalu peduli kalau ada anak atau orang lain di sekitarnya. Hanya saja, dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, hal itu menjadi stimulasi sosial bagi anak.
Di sekolah, anak bisa mengamati orang-orang yang seukuran dengannya, beraktivitas yang sama dengannya. Itu akan menjadi stimulasi sosial bagi anak, sehingga dapat merangsang ide-ide untuk berteman atau bersosialisasi.
Keempat, soal perkembangan bayi. Jadi, anak 6 bulan berbeda sekali perkembangannya dengan usia 7,8,9,10,11,12 bulan. Namun, ketika sudah menginjak usia 13 bulan perkembangannya tidak terlalu jauh dibandingkan saat usianya 14 bulan.
Jadi, tahap awal kehidupan, kemajuan perkembangan seorang anak itu sangat pesat. Semakin tua, perkembangan itu akan semakin melambat. Saat masih bayi, perkembangan seorang anak setiap bulannya akan berbeda secara signifikan.
Terkadang orang tua tidak mengetahui bagaimana cara memantau perkembangan anak dan menstimulasi anak sesuai tahapan tumbuh kembangnya.Nah,melalui pergaulan di sekolah dengan guru atau orang tua lain, itu akan membantu untuk memahami proges anaknya.
Orang tua dapat membandingkan bagaimana perkembangan anaknya dibandingkan murid lain yang seusia. Selain itu, orang tua juga akan mendapatkan masukan dari gurunya tentang progres tumbuh kembang bayinya, dan stimulasi apa yang dapat diberikan pada bayinya.
Jadi, apakah istilah the sooner the better dalam menyekolahkan anak itu tepat?
Tidak juga. Kalau orang tuanya di rumah bisa menjaga, mengasuh, merawat, dan mendidik secarafull timedengan baik dan benar, tidak perlu disekolahkan. Namun, kalau ortunya tidak tahu sama sekali soal menstimulasi bayi, baru bisa menggunakan jasa sekolah bayi.
Namun, jika demikian, bukankah itu seperti lempar tanggung jawab mendidik dan mengasuh anak kepada pihak sekolah?
Bukan. Sebab lempar tanggung jawab bukan alasan untuk menyekolahkan anak. Kalau alasannya karena untuk menjamin keempat faktor tadi, itu masih dibenarkan untuk menjadi latar belakang mengapa seorang bayi boleh disekolahkan.
Namun, kalau alasannya karena ikutan tren karenababy schoolsedangbooming, itu tidak dibenarkan. Ikut-ikutan tren itu tidak penting. Lalu, misalnya juga kalau orang tuanya malas mengurusi anaknya dan diserahkan saja ke gurunya, itu juga tidak boleh.
Jika anak sejak bayi sudah diserahkan ke sekolah untuk menjadi pengasuh, apakah itu akan memengaruhi kelekatan atauattatchment dengan ortunya?
Betul bahwa usia di bawah 12 bulan harus lekat dengan orang tua. Namun, lagilagi, namanya menyekolahkan anak itu bukan berarti melepaskan tanggung jawab orang tuanya.
Jadi, katakanlah, yang mengurus si bayi sehari-hari di rumah adalahbaby sitter. Dia juga yang mengantar sekolah, karena ortunya sibuk. Namun, apapun alasannya, orang tua harus tetap tahu apa yang dilakukan sekolah terhadap bayinya.
Jadi, orang tua betul-betul harus paham dan terlibat dengan apa yang dilakukan anaknya di sekolah dan sampai sejauh mana perkembangannya. Ketika sudah sampai di rumah, pastikan si bayi sudah kembali menjadi tanggung jawab orang tua.
Selama orang tua masih banyak terlibat dan berinteraksi dengan anaknya dalam proses belajar si bayi, sebetulnya sekolah benar-benar hanya berperan sebagai tambahancaregiversaja, bukan pengganti orang tua.
Namun, apakah ada kemungkinan efek samping dari menyekolahkan anak terlalu dini?
Efek psikologis yang mungkin terjadi adalah jika ternyata sekolahnya terlalu advance. Misalnya si anak diberikan pendidikan yang belum sesuai umurnya atau belum dibutuhkan untuk tahap tumbuh kembangnya.
Hal itu bisa terjadi kalau ternyata sekolah dan guru-gurunya tidak memahami dengan benar tentang tahap tumbuh kembang anak. Jadi, sebelum menyekolahkan, orang tua harus mengecek dahulu seperti apa sekolah dan gurunya, serta materi yang diberikan pada anak.
Bagaimana dengan perbedaan bahasa pengantar di sekolah dengan di rumah? Sebab, banyak sekolah bayi yang menggunakan bahasa pengantar asing, yang berbeda dengan bahasa ibu.
Tidak masalah. Sebab, anak satu tahun pertama memiliki perkembangan yang sangat pesat. Bahkan, jika dia diajarkan tujuh bahasa sekalipun sebenarnya bukan masalah.
Namun, yang harus digarisbawahi adalah konsistensinya. Jangan mencampuradukkan bahasa saat sedang mengajarkan kepada anak. Jika kita bicara dengan bahasa Inggris, ya gunakan hanya bahasa Inggris. Jangan dicampur-campur dengan bahasa Indonesia.
Jangan sampai satu kalimat terdiri dari beberapa bahasa. Misalnya, Anak-anak,after this kita akan pergi keupstairs ya.
Yang jadi masalah, di banyak sekolah yang mengaku national plus, banyak gurunya yang sebenarnya [kemampuan] bahasa Inggrisnya tanggung. Jadi, misalnya, menggunakan bahasa pengantar Inggris dengan dialek Jawa.
Jadi, pada intinya tidak masalah bahasa pengantar berbeda. Asalkan di sekolah gurunya pakai bahasa Inggris saja, lalu di rumah pakai bahasa Indonesia saja. Tidak masalah. Justru, dia bisa mengenal bahasa secara konsisten.
Nah,untuk anak yang masih bayi, mereka belum bisangomong. Sehingga, pendidikan bahasanya harus diikuti dengan bahasa tubuh yang mengkonkretkan sebuah kata. Misalnya ketika bicaralove, sertai dengan gerakan tubuh seperti memeluk atau membelai.
Apa saran bagi orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya sejak dini? Hal-hal apa yang perlu diperhatikan?
Carilah sekolah yang memang guru-gurunya memang sayang anak. Bukan sekadar guru yang cerdas, kompeten, atau apa. Sebab, guru yang sayang anak akan lebih peduli pada anak dengan tulus.
Misalnya, kalau gurunya hanya sekadar pintar, saat ada anak berlari lalu jatuh, dia akan memarahi anak tersebut dan menyalahkan anak itu karena sudah berlarian. Namun, kalau guru sayang anak, dia akan terlebih dahulu memikirkan bagaimana menenangkan anak.
Cara untuk mengetahui apakah guru tersebut sayang anak atau tidak, cermatilah bagaimana dia menangani anak-anak lain. Kalau anak-anak lain terlihat senang dan nyaman dengan guru tersebut, berarti mungkin dia memang sayang dengan anak-anak.
Lalu, kita juga bisa bertanya pada orang tua lainnya tentang guru yang bersangkutan. Tanyakan pendapat mereka sebagai referensi tambahan.
Selain mencari guru yang sayang anak, carilah sekolah yang jaraknya dekat dari rumah. Sebab, bayi di bawah setahun daya tahannya masih lemah. Jangan sampai di perjalanan saja dia sudah kelelahan.