Referensi

Inspirasi Sukses Ala Adji Watono

Azizah Nur Alfi
Jumat, 10 Juni 2016 - 10:35
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Bagaimana mengangkat citra produk yang dianggap biasa bahkan seringkali tidak dianggap, menjadi produk yang istimewa dan naik kelas. Maka, tengoklah iklan Hydro Coco, air kelapa yang merupakan warisan dan produk tradisional Indonesia menjadi berkelas internasional.

Atau lihat pula iklan Super Bubur yang pertama kali masuk ke program infotainment, ketika beberapa produk hanya melihat sinetron besar, blockbuster film, dan program-program prime time untuk memperkenalkan produknya. Hasilnya pengenalan terhadap produk Super Bubur cukup meningkat di khalayak dan penjualannya naik pesat.

Selain dua produk itu, masih ada sederet produk yang akrab bagi pemirsa televisi seperti, Fatigon, Mixagrip, dan Soffell. Di balik iklan-iklan itu ada tangan Aloysius Adji Watono, nahkoda Dwi Sapta Group, yang sukses membalik citra sederet produk.

Namun, siapa sangka jika biro iklan lokal Indonesia yang omzetnya tumbuh melewati angka 1 Triliun rupiah itu berawal dari studio foto. Hingga 2016, kelompok usaha Dwi Sapta juga telah berkembang menjadi 11 perusahaan.

From zero to hero. Sebaris kalimat ini mewakili kegigihan Adji, sapaan akrabnya, mengembangkan studio foto 27 di Rawangmangun, Jakarta Timur, menjadi perusahaan iklan yang masuk dalam jajaran Top 3 Advertising Agency di Indonesia selama 35 tahun. Perjalanan dalam kurun waktu itu terangkum dalam buku biografi Adji Watono: Kisah Sukses Tukang Foto Menjadi Boss Advertising, yang baru dirilis akhir Mei kemarin.

Buku yang ditulis CEO Kompas Gramedia 2006-2015, Agung Adiprasetyo, mengungkap rahasia kesuksesan Adji melalui cerita masa kecil hingga pergulatannya di Jerman untuk menempuh pendidikan, yang sarat akan pesan. Kerja keras dan fokus mencapai tujuan menjadi pesan Adji sejak di halaman pertama.

Pembaca dapat menemukan masa lalu Adji yang pernah penjadi sopir truk, pembersih salju, dan pengantar makanan untuk pasien di salah satu rumah sakit Jerman. Pekerjaan kasar ini dilakukan demi bisa masuk perguruan tinggi dan bertahan di negeri orang.

“Jerman adalah masa dalam hidup yang membentuk karakter saya,” tutur Adjie saat peluncuran buku biografinya.

Karakter ini pula yang membuatnya bertahan dalam industri periklanan. Jatuh bangun tentu tidak terhindar dari perjalanan bisnisnya merintis Dwi Sapta Group. Ayah dua putri ini harus memutar otak dan menciptakan ide unik agar Dwi Sapta tetap bertahan saat krisis ekonomi 1998 melanda Indonesia.

Saat itu omzet Dwi Sapta berkurang 50%. Adjie terpaksa menjual rumah dan mobil untuk menutup kerugian dan bertahan hidup. Namun, di tengah kemalangan ini, Dwi Sapta masih beruntung, di tengah ada banya biro iklan lain yang gulung tikar.

“Faktor kunci sukses lain saat krisis ekonomi 1998 adalah fleksibilitas dan kecepatan,” tulis Agung di halaman 116.

Kedekatan Agung dengan Adjie sejak 1985 menjadi nilai tambah sehingga buku ini dapat bercerita secara mengalir. Buku ini sarat akan pesan, tetapi tidak menggurui. “Industri periklanan adalah industri yang makin lama makin mengerikan. Belum lagi diserbu biro iklan asing. Jadi ketika masih ada biro iklan lokal yang bertahan 35 tahun dan berkembang, itu sesuatu yang luar biasa,” katanya tentang latar belakang penulisan buku ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro