Bisnis.com, JAKARTA- Guru Besar Arsitektur Unviersitas Indonesia Gunawan Tjahjono mengungkapkanadalima jenis arsitek yang beredar. Pertama, arsitek berbakat tapi lugu. Kedua, arsitek kurang berbakat dan lugu. Ketiga, arsitek pelayan. Keempat, arsitek kontekstual. Kelima, arsitek katalis.
Arsitek yang berbakat dan lugu, menurut Gunawan adalah mereka yang mahir merancang dan mampu mengembangkan kaidah-kaidah arsitektural. Namun arsitek jenis ini tidak peka atau kurang peduli terhadap lingkungan atau konteks tempat karya mereka yang akan dibangun. Mereka mengabaikan, sengaja atau tidak, faktor-faktor yang berdampak negatif bagi keberlanjutan lingkungan.
Gunawan menengarai arsitek ini cukup banyak di Indonesia terutama yang berkarya pada rentang 1900-an , 2000-an, dan meraih ketenaran pada 2010-an. Dicontohkannya ada satu karya pemenang Anugerah Ikatan Arsitek Indonesia 1999 yang cukup menyengsarakan penggunanya.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, pengguna bangunan mengeluh karena tiap hujan air merembes dan siang hari mengipas walau ruangan ada penyejuk ruangan.
"Sejauh negara ini belum ada Undang-undang Arsitek maka tak ada hukuman bagi mereka yang mengabaikan tugasnya," ujarnya, Rabu (31/8/2016).
Jenis selanjutnya, arsitek kurang berbakat dan lugu. Golongan ini adalah mereka yang mampu menerapkan cara merancang dengan prinsip-prinsip arsitektural, tapi kurang mampu mengartikulasikan dan membuat terobosan baru. Alhasil arsitek ini kurang peka terhadap citra keruangan yang memperkaya nuansa lingkungan.
Gunawan menyebut mereka pandai menempatkan diri dan tahu memainkan permainan politik untuk memperoleh pesanan proyek. Kelompok ini menjalin hubungan baik dengan bagian perizinan kantor-kantor pemerintahan daerah serta menjaring orang yang ingin membangun, tapi khawatir dipersulit dalam pengurusan perizinan.
"Sebagai Ketua Tim Penasehat Arsitektur Kota yang kini saya jalankan. Tiap minggu ada saja proyek ditangani kelompok ini," ujarnya.
Kelompok berikutnya, arsitek pelayan. Gunawan menjelaskan arsitek ini tidak memiliki inisiatif atau gagasan besar karena cenderung mengikuti kemauan pemberi tugas. Perannya tak lebih dari juru gambar yang siap membuatkan citra-citra sesuai selera pemesan. Mereka sanggup membuat bentuk dengan gaya apa saja sejauh ada acuan yang diberikan pemesan.
Arsitek pelayan ini beralasan kekhasan dan kebanggaan diri itu tak perlu, sebab yang penting proyek berlimpah dan perpanjangan pemikiran si pemberi tugas. Di Indonesia kelompok ini bergerak di arena pemberi tugas swasta, proyek banyak dan imbal jasanya dapat ditawar.
Jenis arsitek kontekstual, Gunawan menganggap kelompok ini mirip arsitek pada tradisi Vitruvius yang senantiasa dengan kesungguhannya memahami keadaan lingkungan tempat bangunan gedung bakal diletakkan. Marcius Vitruvius Pollio adalah arsitek Romawi yang banyak menulis tentang dasar-dasar berarsitektur.
Kelompok arsitek ini merancang bangunan dengan pertimbangan sejarah, budaya, dan lingkungan alami setempat. Mereka taat asas dengan tugas dan peran arsitek sesuai yang diamanahkan etika keprofesian yang bertanggungjawab melayani. Karena itu dalam menjalankan tugasnya merekasesuai hati nurani dan senantiasa berpihak pada para pegiat politik.
"Hasil bangunan arsitek ini terhadap keberlanjutan lingkungan hidup dapat dipertanggungjawabkan," tuturnya.
Namun Gunawan melihat kelompok arsitek ini belum banyak di Indonesia karena pada umumnya mereka merupakan arsitek-arsitek berjiwa dewasa dan berpegang teguh pada etika keprofesiannya. Bahkan mereka tak segan menolak proyek jika tak sesuai nurani, keyakinan, dan reputasi.
Kelompok terakhir yaitu arsitek perancang sekaligus pegiat atau katalis. Kelompok ini berjiwa pelopor dan agen perubahan lingkungan ke arah lebih baik. Gunawan mengungkapkan arsitek jenis ini sering disebut oleh rekan seprofesinya sebagai arsitek radikal yang meminggirkan atau menurunkan citra mereka sebagai perancang.
Bakat kelompok ini adalah pengendalian perancangan beragam. Menurut Gunawan dari mereka ada yang kurang berminat menekuni perancangan bangunan, tapi ada juga yang secara habis-habisan merancang dan turun ke lapangan membina tukang atau masyarakat. Empatinya terhadap ketimpangan dan mendidik masyarakat soal penyelesaian sampah, memanen serta mendaurulang air hingga mendayagunakan bahan alami.
"Di Indonesia kita kenal Romo Mangunwijaya yang mengadvokasi Kali Code. Dia adalah contoh menonjol yang mewakili kelompok ini," ujarnya.
Selebihnya Gunawan menilai karya arsitek jenis kedua dan ketiga yakni kurang berbakat dan lugu serta arsitek pelayan paling banyak tersebar di kota-kota Indonesia. Karya arsitek jenis pertama yakni berbakat dan lugu menyisipi di antara gedung-gedung yang dihasilkan jenis arsitek jenis kedua dan ketiga. Karya mereka terbatas dan tak menghiasi jalan-jalan utama.
"Untuk keadaaan di Indonesia, saya tambahkan yang keenam yaitu arsitek politisi seperti Walikota Bandung dan Surabaya," ujarnya.