Bisnis.com, JAKARTA - Buku Genduk karya Sundari Mardjuki masuk dalam daftar 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 16 untuk kategori prosa. Membaca Genduk mengingatkan saya pada karya-karya Ahmad Tohari, karena menyajikan nuansa lokal. Genduk menawarkan perjalanan mengenal budaya dan masyarakat lokal Temanggung.
Genduk, gadis 11 tahun, terus mencari sosok sang ayah yang tak pernah ditemuinya. Bersamaan dengan itu, dia dihadapkan pada ulah gaok dan tengkulak yang membawa para petani tembakau, termasuk ibunya Yung, terseret ke pusaran rentenir.
Mengambil setting era 1970an di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Sundari Mardjuki menempatkan Genduk sebagai tokoh sentral dalam novel Genduk yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Genduk tidak saja mengupas persoalan keluarga, tetapi memaparkan kondisi sosial pada masa itu, yakni persoalan para petani tembakau yang tidak banyak terekspos.
Sebagai modal tanam, tidak sedikit petani tembakau terseret dalam pusaran rentenir. Bahkan Nglimolasi, yang disebut Yung [halaman 72], dikenal untuk menunjuk pada istilah utang kepada rentenir. Jika hutang seribu perak, maka dalam tempo tiga bulan harus kembali seribu lima ratus. Begitu pula Ngewolulasi, hutang seribu harus dibayar seribu delapan ratus.
Tidak hanya rentenir yang menggerogoti para petani tembakau. Petani yang tak memiliki akses langsung ke juragan tembakau, menjadi celah bagi gaok yang berkelindan dengan tengkulak menentukan harga seenak dengkul mereka sendiri. Pak Wondo sampai gantung diri dibuatnya, setelah 75 keranjang hasil kerja kerasnya dilego dengan harga murah [halaman 158].
Dengan gaya bahasa sederhana, Genduk menyajikan konflik yang bergulir yang dialami para petani, mulai dari warisan kemelut kultural politik serta aliran priyayi, abangan, dan santri masih sangat terasa.
Namun, di luar masalah konflik, Sundari berhasil menyajikan pendokumentasian tata cara pengolahan tembakau dan jenis tembakau yang sering disebut dengan emas hitam. Mereka menyebut emas hitam untuk menunjuk pada tembakau srintil. Jenis tembakau paling mahal yang menjadi impian setiap petani. Disebut emas hitam karena rupanya hitam pekat, berair, menggumpal seperti tai kebo.
Sundari menyusun novel keduanya ini selama empat tahun, waktu yang cukup lama. Dia mengaku bagian tersulit selama proses penyusunan novel ini adalah riset. Sebab, tidak banyak dokumentasi tentang pengolahan tembakau.
Riset pun dilakukan kepada para petani sepuh di Desa Mranggen Kidul, Parakan, Kabupaten Temanggung. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses tembakau ditanam hingga diolah. Sundari juga tak lupa menggali kembali pengalaman era 70an. Tidak sedikit narasumber yang saat novel ini terbit, sudah wafat.
"Ada cara-cara khusus dalam mengolah tembakau di era 70an. Ini yang tidak terdokumentasikan. Sangat sayang jika hilang begitu saja," tuturnya.
Sundari tidak hanya mengajak pembacanya mengetahui seluk beluk tembakau. Latar belakangnya sebagai anak Temanggung, juga sukses mengangkat kekayaan alam dan budaya Temanggung. Melalui karya sastra, dia sekaligus melakukan promosi wisata Temanggung. Mulai dari pertunjukkan jatilan atau jaran kepang, keindahan Gunung Sindoro, hingga kulinernya.
Sastrawan Ahmad Tohari menilai buku ini mampu mengenalkan kembali masyarakat urban pada nilai budaya dan kehidupan desa.