Bisnis.com, JAKARTA - Pameran 100 Tahun Otto Djaya (1916-2002) di Galeri Nasional, Jakarta, 30 September hingga 9 Oktober 2016 menjadi pengingat bahwa Otto Djaya tak boleh dilupakan dalam sejarah seni rupa di Indonesia. Karya-karya Otto begitu jenaka dalam mengkritisi permasalahan sosial.
Diselenggarakan Galeri Nasional dengan inisiasi dari Inge-Marie Holst dan Hans Peter Holst yang meneliti tentang Otto, pameran ini menampilkan sebanyak 176 lukisan karya seniman kelahiran Banten itu.
Dikuratori Rizki A. Zaelani dan Inge-Marie Holst, lukisan-lukisan ini menunjukkan perjalanan Otto sebagai seniman lintas generasi dari era Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi.
Kejenakaan muncul dari cara Otto menyisipkan tokoh-tokoh Punakawan seperti Petruk dan Gareng ke dalam lukisan-lukisannya. Kedua tokoh pewayangan itu selama ini dikenal sebagai penebar humor untuk mencairkan suasana. Lewat kedua tokoh itu Otto seolah menjadikannya sebagai simbol nasihat, tetapi mudah dinikmati.
Umpamanya pada lukisan Perang Terhadap Korupsi (cat minyak pada kanvas, 90x140 cm, 1999). Karya Otto ini menggambarkan ratusan massa demonstran mengejar para tikus berdasi yang membawa koper-koper uang.
Di tengah-tengah kerumunan massa itu ada sosok petruk yang yang juga ikut mengejar manusia-manusia tersebut. Dari sini terlihat bagaimana Otto menyikapi realitas sosial ketika itu. Saat reformasi baru tumbuh, menumbangkan rezim korup terdahulu.
Sebelum lukisan ini, Otto pun telah membuat lukisan serupa dengan judul Memberantas Para Koruptor (akrilik pada kanvas, 84x142 cm, 1993). Figur-figur pada lukisan masih sama, bedanya tak ada sosok Petruk. Namun, dari karya tersebut tampak bahwa isu perlawanan terhadap korupsi sudah menggema pada masa Orde Baru masih berkuasa.
Di samping itu tema tersebut masih kontekstual hingga kini. Saat banyak elit politik tersandung permasalahan korupsi.
"Petruk itu potret sosok Otto Djaya sendiri. Sementara Gareng adalah kakaknya [Agus Widjaya]," ujar kurator pameran 1oo Tahun Otto Djaya Rizki belum lama ini.
Rizki atau yang biasa disapa Kiki ini berpendapat tema-tema pewayangan pada karya-karya Otto merupakan bentuk pencarian identitas sang seniman. Selepas pendudukan Jepang, seniman-seniman di Indonesia termasuk Otto umumnya tertarik mengangkat identitas-identitas ketimuran pada karya -karyanya.
"Memang tak sedikit seniman Indonesia yang mengangkat tema pewayangan, tetapi Otto menampilkannya secara khas seakan-akan kita hidup di bentangan kisah pewayangan," tuturnya.
Mengangkat cerita kehidupan sehari-hari, lukisan-lukisan karya Otto begitu dekat dengan kita. Otto menjelaskan permasalahan sosial kemasyarakatan yang terjadi pada saat itu. Misalnya ,pada lukisan Paranormal (akrilik pada kanvas, 90x140 cm, 1994), secara gamblang mengungkapkan praktik perdukunan yang masih kental di tengah-tengah masyarakat. Kali ini Petruk berperan sebagai dukun pada lukisan tersebut, sedang Gareng sepertinya sebagai asistennya.
Hal-hal berbau klenik seperti ini tentu sudah bagian dari kepercayaan masyarakat Indonesia. Di era digital sekarang pun masih ada orang yang mempercayai hal-hal takhayul. Buktinya hingga kini masih ada segelintir masyarakat yang terjebak pada tipu muslihat penggandaan uang.