Iwan Fals saat konser di Malang, Sabtu (26/11/2016) malam./Bisnis-Choirul Anam
Musik

Konser Iwan Fals di Malang: Pentas “Opera” dari Sang Legenda Hidup

Choirul Anam
Minggu, 27 November 2016 - 18:13
Bagikan

BIsnis.com, MALANG—Pentas “Opera” pantas disematkan pada konser sang legenda hidup di bidang musik, Iwan Fals, di Kota Malang, Sabtu (26/11/2016) malam.

Tampilan pemusik yang memulai karirnya pada era 1980-an dan terus eksis hingga kini dalam pentas tersebut mirip pentas opera. Antara satu lagu dan lagu lainnya mempunyai tautan arti yang saling menyambung.

Seperti saat menyajikan lagu “Sore di Tugu Pancoran,” dia menceritakan kisah di balik terciptanya lagu balada country tersebut. Lagu tersebut sebenarnya kesaksian dia saat melintasi jalan dari rumahnya di Depok menuju Studio Musica.

Di Tugu Pancoran, Iwan menyaksikan anak kecil yang membantu ekonomi keluarga dengan rela menjual koran di musim hujan. Nama penjual koran itu Budi.

Seusai lagu dinyanyikan, dia pun berujar, “Budi sekarang sudah menjadi dosen di sebuah universitas di Jakarta.”

Entah berseloroh atau tidak, yang jelas lagu berikutnya menyambung dengan kisah tentang Budi tadi. Keberhasilan Budi tidak terlepas dari sosok dan perjuangan dari sang ibu.

Maka dia pun menyanyikan salah satu lagu hitnya, “Ibu” dan penonton bertepuk tangan bergemuruh saat intro lagu itu dimainkan.

Kembali dia berpesan bahwa kita harus menghormati dan menyayangi sosok seorang “Ibu” yang membesarkannya anak-anak mereka hingga menjadi manusia yang bermartabat.

Kata kunci cinta dan hidup yang bermartabat ternyata menjadi pintu masuk untuk lagu berikutnya. Anak muda yang bermartabat tentu cinta terhadap Tanah Airnya selalu berusaha menyangga apa pun kondisi negerinya, terutama terkait dengan kerusakan lingkungan yang dahsyat.

Maka Iwan bertutur dengan bermusik lewat lagu “Pohon Untuk Kehidupan,” sebuah lagu diaransemen rock yang berkisah tentang penggundulan hutan di Mentawai. Padahal masyarakat di sana mengkeramatkan daun-daung dari pohon yang ditebang sehingga penebangan pohon tidak hanya merusakan lingkungan, tapi juga merusakkan spiritual masyarakat di sana.

Dari kata cinta pula dia masuk pada tuturan berikutnya. Intinya dia berpesan bahwa cinta itu harus diperjuangkan, maka melantunlah “Izinkan Aku Mencintaimu.”

Cerita tentang cinta masih berlanjut lewat tembang “Yang Terlupakan.” Walhasil dari lagu pertama merupakan suatu kesatuan cerita dari kesaksian yang legenda hidup, Iwan Falas.

Kesaksiannya tentang lingkungan, tentang kondisi sosial politik, bahkan kondisi sosial di lingkungan lokal seperti kondisi lingkungan di dekat rumahnya yang dia potret lewat lagu “Ujung Aspal.”

“Waktu itu rumah saya termasuk berada di pelosok, masih sepi. Ujung aspal itu menandakan bahwa pembangunan jalan terbatas sehingga ujungnya aspal atau tanah karena belum terbangun,” ungkapnya.

Kisah yang dilantunkan dengan asyik semakin asyik karena ada paduan suara spektakuler dari ribuan penonton yang memadati Hotel Graha Cakrawala, tempat konser berlangsung.

Walhasil, dalam konser yang berlangsung dua jam lebih terasa hangat dan intim. Ada komunikasi intensif antara si pencerita dengan penontonnya. Ada perasaan saling berbagi antara keduanya.

Musik yang mengiringi ditata apik. Ada warna orkestranya karena ada permainan biola dan alat tiup selain gitar, bas, kibor, dan drum. Begitu pula permainan gitaris rock Totok Tewel menjadikan lagu-lagu yang disajikan menjadi lebih hidup.

Lagu yang ditampilkan diaranasamen ulang, setidaknya dibawakan secara berbeda bila dibandingkan versi rekaman sehingga memberikan efek surprise bagi pecintanya yang mengetahui versi lagu aslinya.

Sayangnya, tata lampu tidak dimanfaatkan secara optimal. Tata cahaya tidak mampu menangkap suasana hati sang Iwan ketika berkontemplasi atau di momen lain seperti saat jatuh cinta lewat tembang-tembang cintanya.

Begitu pula dengan multimedia, tidak dimanfaatkan secara optimal. Screen lebar tidak dimanfaatkan dengan video-video yang menggambarkan kisah dalam lagu.

Namun tetap saja pentas Iwan Fals di Malang mampu mengobati rasa dahaga penggemarnya menyaksikan sang legenda hidup tampil, berkisah, berbagi, dan berdendang, sambil mengingatkan tentang perlunya menjaga akal sehat.

Maka ketika lagu “Bongkar” dan “Bento” dinyanyikan si “Manusia Setengah Dewa,” pada intinya dia mengajak penonton untuk tetap menjaga akal sehat, menjaga nurani, agar tetap eksis di tengah kehidupan yang masih centang perentang. “Hiooo”.

Penulis : Choirul Anam
Editor : Saeno
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro