Referensi

Buku S.K Trimurti: Wartawati yang Menolak Jadi Menteri

Azizah Nur Alfi
Jumat, 9 Desember 2016 - 17:28
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Perawakannya kecil dan kurus. Barangkali cuma 148 cm paling tinggi. Namun, srikandi dari keluarga priyayi ini tak gentar mengkritik dan melawan kolonialisme melalui tulisannya yang tajam. Tulisan itu pula yang mengantarkannya keluar masuk penjara. Dialah Surastri Karma Trimurti atau lebih dikenal dengan S.K. Trimurti, pejuang perempuan Indonesia.

Surastri terbilang unik. Di saat banyak orang mengejar jabatan menteri, dia justru menolak jabatan yang ditawarkan Setiajid setelah mendapat perintah dari Presiden Soekarno. Posisi Menteri Perburuhan dianggap sesuai dengan S.K. Trimurti yang berkecimpung total di Partai Buruh Indonesia (PBI).

Dalih S.K. Trimurti adalah bahwa dirinya belum berpengalaman menjadi menteri. Tapi toh Presiden Soekarno juga belum berpengalaman jadi presiden, jawab Setiajid. Sampai akhirnya S.K. Trimurti menerima jabatan itu, di saat suaminya, Sayuti Melik, berada dalam tahanan. S.K. Trimurti menjadi satu-satunya perempuan yang duduk di Kabinet Amir Sjarifoeddin I.

Kesibukan sebagai menteri perburuhan, membuatnya istirahat sejenak dari aktivitas menulisnya. Padahal, kala itu gaji sebagai menteri hanya Rp750. Angka ini masih kalah jauh dengan penghasilannya dari aktivitas menulis sekitar Rp3.000. Untuk mencukupi rumah tangga, dia terpaksa menjual barang-barang yang bisa dijual. Sebagai menteri, dia tak bisa mengambil pekerjaan sambilan karena pekerjaan menteri sangat banyak.

"Waktu di Yogyakarta, keperluanku sebulan untuk mencukupi rumah tangga sekitar Rp3.000. Ini kudapatkan dari honorarium tulisan-tulisan dan dari penjualan buku-buku (agen) yang cukup kulakukan dari rumah. Aku tidak usah pergi kemana-mana untuk mencari buku dan menawarkan buku dalam jumlah yang tidak kecil. Cukup aku pergunakan telepon saja. Jadi aku tidak mengalami kekurangan dalam pembiayaan rumah tangga.
Tapi ketika aku menjadi menteri? Gaji sebulan hanya Rp750. Mana bisa cukup? Sumber lainnya tidak ada," tuturnya seperti dikutip dari buku SK Trimurti: Pejuang Perempuan Indonesia halaman 21.

Selain tak gila jabatan, S.K. Trimurti dikenal melalui kesederhanaan hidupnya. Status sebagai mantan menteri, sebenarnya membuat dia berhak atas rumah di kawasan Menteng. Namun, Zus Tri, begitu dia biasa disapa, memilih tinggal di Jalan Kramat Lontar. Kesederhanaan hidup tetap bertahan hingga usia senja. Beberapa pekerjaan rumah tangga masih dikerjakan sendiri semisal mencuci baju dan mencuci piring. Ketika hendak pergi, S.K. Trimurti memilih menggunakan bus bersama masyarakat lainnya. Sebabnya, dia lebih suka tinggal dekat rakyat dan ingin menjadi rakyat biasa.

Totalitasnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dilakukan jauh sebelum pertemuan dengan suaminya, Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Lahir dari keluarga priyayi, S.K. Trimurti mendapat pendidikan yang memadai. Tamat dari Meisjesschool (MNS), S.K. Trimurti mengajar di sekolah Ongko Loro di Alun-Alun Kidul Kota Solo. Dia lalu berpindah ke Meisjesschool di Banyumas. Banyumas menjadi ladang perpolitikannya yang pertama.

Bahkan, S.K. Trimurti mengendarai dokar dari Banyumas menuju Purwokerto untuk mengikuti rapat Partindo. Peristiwa ini yang membawa perubahan dalam arus politiknya. S.K. Trimurti pada akhirnya harus melepas jabatan sebagai guru pegawai negeri untuk dapat berjuang melawan kolonialisme. Keputusan ini setelah dia melalui masa kebimbangan dan kebingungan.

"Sepulang dari rapat itu, saya merenung. Saat itulah saya tergugah untuk ikut bergabung dengan Partindo. Artinya saya harus melepas jabatan saya sebagai guru," tuturnya.

Keterlibatannya dalam Partindo cabang Bandung pimpinan Soekarno, mengantarkannya menjadi wartawati dengan tulisan yang tajam. Karena tulisan itu pula, dia kerap keluar masuk penjara.

Masa kehamilan anak pertama dilakoninya di dalam penjara karena tulisan Sayuti Melik di harian Sinar Selatan, yang diakui sebagai tulisannya, dianggap mengganggu pemerintah kolonial Belanda. Begitu pula ketika anaknya, M.K. Budiman yang berusia 6 bulan, harus ikut di penjara berkenaan dengan peristiwa tersebut.

Kerasnya perjuangan masih harus ditempuh hingga anak kedua. Dia yang baru saja dua bulan melahirkan, dihajar habis-habisan oleh polisi Jepang, karena tak mengakui keterlibatan suaminya dengan komunis yang anti Jepang. Pemerintah Jepang memang dikenal kejam dalam memperlakukan tawanan. Pentungan yang dipukulkan ke kepalanya, tubuhnya yang luka sana-sini, dan keadaan giginya yang agak goyah. Si kecil Heru Baskoro tak mau menyusu ibunya karena badan S.K. Trimurti terasa panas.

Sebagai perempuan, S.K. Trimurti merupakan sosok yang konsisten dan tegas menjaga prinsipnya. Dia adalah perempuan yang anti poligami. Usia pernikahan ke-31 harus kandas setelah keinginan Sayuti untuk menikah lagi.

Faktor usia memengaruhi kesehatan S.K. Trimurti yang biasanya aktif dan energik menjadi semakin lemah. Meski begitu, pikirannya tak pernah mati. S.K. Trimurti akhirnya menutup usia pada 96 tahun bertepatan dengan Bangsa Indonesia merayakan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2008. Meninggalnya S.K. Trimurti bersamaan dengan meninggalnya Ali Sadikin pada usia 82 tahun.

Judul Buku: S.K. Trimurti: Pejuang Perempuan Indonesia
Penulis: Ipong Jazimah
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: 268 halaman
Cetakan: Pertama, 2016
ISBN: 978-602-412-019-1

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro