Masih ingat dengan Kusrin? Perakit televisi asal Karang Anyar, Jawa Tengah yang mendadak tenar setelah hasil karyanya disita dan dihanguskan pihak Kejaksaan.
Awalnya menjadi pesakitan, Kusrin justru diapresiasi banyak orang karena televisi rakitannya. Mulai dari Menteri Perindustrian Saleh Husin sampai Presiden Jokowi ikut turut tangan membantu pria yang hanya lulusan sekolah dasar tersebut.
Roda nasib Kusrin yang berputar ini tidak luput dari kontribusi netizen. Bermula dari petisi online di platform Change.org, kreativitas Kusrin justru diapresiasi.
Dalam waktu kurang dari sepekan, petisi online ini didukung oleh 27.000 orang netizen. Aliran deras dukungan dari dunia maya untuk Kusrin ini menjadi salah satu contoh kemenangan nyata masyarakat sipil.
Co-founder Change.org Usman Hamid mencatat di tahun ini beberapa petisi berhasil memberikan perubahan siginifikan.
Mulai dari Kusrin, Gloria si pengibar bendera, hingga Ronny, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang sempat didepak dari kampusnya akibat mengkritik rektor di media sosial.
Di dunia maya, 2016 boleh dibilang adalah tahun perubahan. Usman menuturkan ada begitu banyak petisi online yang digalang oleh netizen. Nuansa politik sangat kental di tahun ini.
Dari sisi kategori misalnya, polemik soal gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok paling banyak diminati.
Setidaknya tiga petisi online yang berkaitan dengan Ahok masuk dalam 10 besar petisi terpopuler tahun ini. Kendati demikian, tidak semua petisi online memang sukses memicu perubahan meskipun direspons banyak netizen.
Usman mencontohkan, petisi yang digaungkan untuk mencopot Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat misalnya, tidak berjalan lama. “Karena tidak ada yang mengawal, Setya Novanto naik kembali jadi Ketua DPR,” ujarnya, Kamis (21/12).
Usman melanjutkan, kendati sangat berpengaruh, konsistensi dalam mengawal isu tertentu di dunia maya masih menjadi pekerjaan rumah. Selain karena massa yang bersifat cair, seringkali keinginan netizen tidak mendapat tanggapan di dunia nyata.
KONSISTENSI
Sosiolog media sosial Roby Muhamad mengatakan saat ini definisi kekuatan sudah bergeser ke arah kerumunan di media sosial. Sebelum ada media sosial, kekuatan direpresentasikan melalui berbagai bentuk seperti kewahyuan para nabi, kekuasaan para raja, atau keunggulan skill individu.
“Sekarang ini jumlah pendukung di media sosial juga layak diperhitungkan,” ujarnya.
Kendati demikian, dia juga mengakui gerakan massa di media sosial sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan. Menurutnya, gerakan ini harus memiliki koneksi yang jelas dengan aktivtas di dunia nyata.
Senada dengan Roby, aktivis Indonesia Corruption Watch Tama Satryan Lankun menuturkan kampanye yang sukses di media sosial adalah kampanye yang ditindaklanjuti dengan aktivitas offline.
ICW yang sering memanfaatkan media sosial sebagai ranah kampanye anti korupsi beberapa kali mencoba menghubungkan antara gerakan di dua ranah tersebut. “Aktivitas offline juga tidak bisa sembarangan karena harus sangat kreatif,” tuturnya.
Selain untuk isu-isu beraroma politis, kampanye di dunia maya juga banyak diterapkan untuk isu-isu kemanusian.
Salah satu kampanye yang cukup sukses adalah tagar #maribicara untuk memerangi kejahatan seksual. Kampanye ini digalakkan oleh Lentera Sintas Indonesia, NGO yang bergerak di bidang pendampingan para survivor kejahatan seksual.
Executive Director Lentera Sintas Indonesia Wulan Danoekoesoemo mengatakan kampanye ini awalnya mendapatkan banyak respons dari publik. Hal ini terutama setelah kasus pemerkosaan seorang remaja di Bengkulu terungkap ke publik.
Kampanye ini terus berlanjut hingga mendorong digodoknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR. “Saat ini memang masih antre menjadi prolegnas, tetapi itu langkah yang bagus,” ujarnya.
Salah satu masalah yang dihadapi pengkampanye di media sosial adalah keberadaan buzzer. Usman menjelaskan buzzer sangat mengganggu karena bisa mempengaruhi opini publik dengan akun-akun media sosial atau email palsu.
Dalam beberapa petisi misalnya, Usman menemukan ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan build operate transfer (BOT). Sistem pemrograman ini sering dipakai karena bekerja secara otomatis sehingga seolah-olah adalah akun asli.
“Ada petisi yang dalam waktu singkat ditandatangani hingga 40.000 netizen. Setelah kami cek ternyata itu BOT. Padahal aslinya hanya 2.000 netizen,” ujarnya.
Untuk menanggulangi hal tersebut, pihak Change. org memiliki perangkat yang bisa memeriksa keasalian akun.
Dengan perangkat tersebut upaya para buzzer untuk mempengaruhi opini publik menggunakan akun palsu bisa ditanggulangi.
People power identik dengan gerakan massa di Filipina saat menggulingkan Ferdinand Marcos. Kala itu tentu belum ada media sosial.
Hari ini ketika people power bisa dengan mudah digalakkan, perubahan ke arah yang lebih baik semestinya lebih mudah dilakukan