Bisnis.com, JAKARTA -- Jakarta dan kota-kota lainnya memang memiliki daya magnet bagi siapa pun yang menginginkan perubahan nasib. Kedatangan mereka pun lambat laut mengubah wajah-wajah perkotaan tersebut.
Sebagian mereka berhasil menaklukan kerasnya kota, selebihnya tergerus laju keserakahan kota. Pesan tersebut terwakili dalam pameran tunggal seniman Aliansyah Caniago di SPACE: Gallery + Workshop yang dikelola Arcolabs Jakarta, Jakarta Selatan.
Bertajuk The Sky is Portable, pameran tersebut dikuratori Sally Texania. Berkarya di Jakarta, Aliansyah melanjutkan proyek bird feeder yang pernah dilakukannya di Santander, Spanyol dan Bandung, Jawa Barat. Kali ini bird feeder diterjemahkan Aliansyah di Pondok Indah, wilayah pinggiran yang berevolusi menjadi pusat. Bagi Aliansyah transformasi wilayah ini merupakan akumulasi dari transformasi berbagai pendatang.
Dalam pameran yang berlangsung hingga 15 Januari ini Alin -- demikian seniman ini biasa disapa -- menghadirkan tiga karya hasil dari garapan proyek bird feeder-nya tersebut. Pertama, karya instalasi bertajuk The Sky is Portable #1 (bird cage, GPS, video projection, canvases, 300 drawing, 2016). Melalui karyanya ini Alin menyajikan hamparan kertas-kertas kanvas, video, dan sangkar burung.
Menggunakan spidol hitam Alin membuat coretan berbentuk gambar burung merpati di atas kanvas-kanvas itu. Targetnya 300 gambar, tetapi Alin baru menyelesaikan sebagiannya. Selebihnya kanvas -kanvas lainnya masih tergeletak di atas kursi. Lewat goresan-goresan spidol tersebut seniman seakan menerjemahkan pengalamannya ketika menggarap proyek tersebut. Adapun video pada instalasi ini memperlihatkan rekaman perjalanan burung merpati.
Memang dalam proyeknya ini Alin melibatkan sepasang burung merpati. Dia memelihara sepasang burung tersebut di lokasi pameran yang berada di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Setelah sepuluh hari berada di galeri tersebut, Alin melepaskan sepasang burung itu dengan kamera yang diikatkan di kakinya di lokasi berbeda di Jakarta. Namun hanya satu merpati yang berhasil pulang ke kandang barunya, sedangkan satunya lagi tidak pulang. Dari video tersebut pengunjung dapat melihat wilayah Jakarta dari perspektif seekor burung merpati.
Sepertinya melalui video ini seniman hendak merekonstruksi perjalanan para pendatang menemukan kota dan kembali ke kampung halamannya. Mereka merindukan rumahnya sebagian lain berusaha menghapus atau lupa terhadap tempat asalnya. Karya kedua The Sky is Portable #2 (4D drawing, drawings, video projection, rope 30 x 30 cm 2016), sebetulnya tak jauh berbeda dengan karya pertama yaitu masih berbentuk coretan.
Pada karyanya ini Alin menggunakan medium kanvas dan spidol hitam menggambar ragam wajah. Total ada 40 lembar kanvas bergambar wajah yang ditempel di dinding ruang pameran. Tak jelas wajah siapa yang digambar Alin, tetapi wajah-wajah dalam kanvas itu memiliki jenggot dan kumis. Alhasil dia nampak sedang sendiri menggambar wajahnya sendiri. Selain itu ragam wajah tersebut memunculkan pesan akan perubahan-perubahan kaum urban.
Pada karya ketiganya, The Sky is Portable #3 (painting, oil on wood, 150 x 150 cm, 2016), Alin menampilkan lukisan abstrak. Namun bila dicermati dengan seksama, objek abstrak tersebut menggambarkan burung merpati sama seperti yang dicoret-coret di karya pertamanya. Menggunakan medium kayu, karya ini seolah merefleksikan rangkaian akhir dari perjalanan manusia urban menuju asalnya. Layaknya sepasang merpati yang dilepas di tempat berbeda, ada yang menemukan jalan pulang ke kandangnya. Namun ada pula yang tersesat tak tahu jalan.
Kurator pameran Sally menuturkan melalui pameran ini Alin berusaha merekonstruksi para pendatang yang berkeinginan untuk kembali membawa kemakmuran ke kampung halamannya, tetapi juga beberapa di antaranya memilih menghapus masa lalu. Guna merumuskan hal ini, Alin melakukan riset lapangan berdialog dengan masyarakat di bilangan Pondok Indah, Sunda Kelapa, dan Kemayoran yang telah mengalami pergeseran identitas lokal.
Sambil mengumpulkan kisah memori tersebut, Alin melibatkan burung merpati yang memobilisasi proses observasinya. Dalam observasi ini, tuturnya, burung merpati dilepaskan dengan sebuah kamera diikatkan pada kakinya untuk merekam perkembangan wilayah di Jakarta dengan hasil rekaman yang Alin proyeksikan ke atas instalasinya di ruang galeri.
Sally menilai the bird feeder bisa jadi merupakan karya yang meromantisasi sudut pandang seorang seniman mengenai mobilisasi dan transformasi manusia dalam sebuah ruang kota. Di saat yang sama terlibatnya simbolis seniman dan hewan dalam karya ini dapat pula dilihat sebagai penaklukan terhadap alam dalam pencapaian tujuannya.
Namun demikian, ujarnya, selayaknya karya-karya Alin, akan tiba saat di mana karya ini masih dapat bertranfsormasi ke dalam bentuk lain pada lokasi dan waktu yang berbeda. Alin sendiri merupakan seniman lintas media. Kendati lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, dia lebih dikenal dengan karya performance art dan instalasi.
Dia kini murid dari seniman Melati Suryodarmono. Pada tahun lalu dia berpartisipasi pada pameran Art Stage Singapore 2016 dengan karya instalasi Titik Balik berupa perahu yang merespon lingkungan dan budaya di Situ Ciburuy, Jawa Barat.