Hambatan
Inkonsistensi pendanaan menjadi persoalan lain di tengah persoalan klasik minimnya anggaran riset dari APBN selama ini. Perencanaan tahapan kegiatan yang dilakukan sejak awal tahun bisa tiba-tiba terpaksa terhenti karena minimnya anggaran yang diterima.
"Tentu ada efek dominonya terhadap peta jalan 2017-2019 yang telah kita susun. Contohnya, dalam peta jalan tersebut seharusnya bisa tersusun konsep obat herbal terstandar berbasis Rennellia sp, tapi terpaksa tertunda karena tidak ada anggaran untuk menyelesaikan data ilmiah pendukung," ujar dia.
Persoalan lain yang dihadapi, menurut Enny, adalah kenyataan bahwa sebagian besar pengusaha obat herbal adalah pedagang murni, sehingga tidak mau investasi riset. Sebagian besar pengusaha obat hanya mau menangkap produk bila sudah ada nomor registrasi Badan POM.
Sementara itu, untuk mendapatkan registrasi Badan POM, maka pilot project produksi harus mengikuti Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Sedangkan institusi pemerintah tidak ada (sangat terbatas) yang memiliki fasilitas yang memenuhi dua hal tersebut.
Enny mengatakan, fasilitas Biosafety Level (BSL) 3 yang sangat dibutuhkan untuk mempermudah menjalankan tahapan uji klinis salah satunya untuk bisa memenuhi persyaratan untuk memperoleh registrasi Badan POM sudah sejak tiga tahun lalu diajukan pengadaannya, tetapi selalu gagal didanai.
Perkiraan dana yang dibutuhkan untuk fasilitas BSL 3 inimencapai Rp35 miliar hingga Rp50 miliar, tergantung seberapa canggih fasilitas yang ingin dibangun.