Judul buku : Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Mizan
Tebal :324 halaman
Cetakan : Pertama, Maret 2017
ISBN-13 : 978-602-441-016-2
Belakangan ini, Indonesia sedang sangat santer diterjang isu keberagaman. Sebagian kalangan menilai ada oknum-oknum yang berusaha meruntuhkan multikulturalisme di Tanah Air dengan memaksakan paham-paham radikal bertopeng ajaran agama.
Dalam konteks tersebut, Islam seolah-olah dijadikan kambing hitam akibat aksi sebagian oknum. Akibatnya, ajaran dan nilai-nilai keislaman dituding bertentangan dengan semangat keberagaman, multikulturalisme, keterbukaan, demokrasi, dan toleransi.
Penilaian tersebut mungkin tercetak akibat adanya sebagian kalangan yang menafsirkan ajaran agamanya secara sempit dan tidak relevan. Akibatnya, susah bagi mereka untuk mengembangkan budaya berlapang dada dalam menghadapi perbedaan pandangan.
Melihat fenomena tersebut, Haidar Bagir menuliskan pelajaran menarik mengenai bagaimana menafsirkan nilai-nilai Islam di tengah karut marutnya zaman modern dalam buku terbarunya yang bertajuk Islam Tuham Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau.
Sebagai makhluk beriman, manusia meyakini bahwa agama berasal dari Tuhan. Namun, agama juga mengambil wujud sebagai ajaran manusia setelah berpindah dari khasanah ketuhanan ke ranah kemanusiaan.
“Artinya, manusia tidak pernah bisa bicara tentang agama kecuali dalam konteks manusia. Menyadari hal itu, maka seorang penganut agama mestinya tidak terkejut dan gagap untuk menerima kenyataan bahwa di kalangan agama yang sama terdapat banyak perbedaan pendapat,” papar pendiri penerbit Mizan itu.
Buku tersebut sekaligus menjadi obat rindu bagi para penggemar karya-karya tulis Haidar. Di dalam buku terbarunya itu, dia merangkum naskah-naskah tentang tafsir agama dan bagaimana pemaknaan itu dijadikan alat untuk menjawab kebutuhan manusia.
Dia meyakini bahwa agama memang diturunkan Tuhan untuk manusia. Sehingga, adalah sebuah kesalahan jika manusia mengembangkan pemahaman atas agama yang tidak sesuai dengan kebutuhan umat manusia.
Itulah mengapa, menurutnya, wajar jika agama bisa ditafsirkan sejalan dengan kepentingan perkembangan manusia dari zaman ke zaman. Sebab, jika tidak demikian, ajaran agama justru akan kehilangan relevansinya dan tidak lagi memiliki dampak bagi manusia.
Banyak hal-hal mencerahkan yang ditulis Haidar di dalam buku setebal 324 halaman tersebut. Sebagian adalah materi-materi yang kerap kali menjadi bahan perdebatan dan percakapan batin soal agama, yang tak jarang membuat seseorang menjadi gamang.
Buku tersebut sekaligus diluncurkan untuk memperingati ulang tahun Haidar yang ke-60 dan milad penerbit Mizan yang ke-34. Karyanya tersebut turut mengantongi apresiasi dari Menteri Agama Lukman Hakim.
Sepakat dengan pemikiran Haidar di dalam bukunya, Lukman percaya bahwa manusia memiliki dua pola hubungan dengan Tuhan. Pertama, hubungan fiqhiyah antara hamba dengan Tuhan yang disembah. Kedua, hubungan tasawuf antara pecinta dan yang dicintai.
“Nah, Haidar sendiri lebih banyak menulis tentang pola hubungan yang kedua, yaitu antara pencinta dan yang dicintai. Dia adalah tokoh yang produktif, terutama dalam karya-karya literatur dengan tema yang berdimensi batiniah,” ujarnya.