Bisnis.com, JAKARTA - Senja kala media cetak memang bukan persoalan baru di dunia jurnalisme. Tutupnya berbagai media cetak di Indonesia terus berlanjut sampai hari ini.
Memasuki tahun baru 2018, pembaca di Indonesia harus mengucapkan selamat tinggal kepada majalah Rolling Stone Indonesia (RSI). Majalah ini menyusul FHM, Hai, dan Nylon yang berhenti cetak pada 2017.
Tutupnya Rolling Stone Indonesia mungkin menjadi yang paling menyedihkan. Media ini adalah media musik terakhir yang beredar di Indonesia dalam format majalah.
Setelah 12 tahun berdiri, tiba giliran bagi majalah waralaba dari Amerika Serikat ini mengucap selamat tinggal kepada pembacanya. Melalui laman Rollingstone.co.id mereka menuliskan salam perpisahan kepada pembaca setianya.
“Pada hari ini PT a&e Media sebagai penerbit majalah Rolling Stone Indonesia dan situs Rolling Stone Indonesia mengumumkan bahwa mulai 1 Januari 2018 kami tidak memegang lisensi majalah Rolling Stone Indonesia dan situs Rolling Stone Indonesia untuk beroperasi di wilayah Indonesia.”
Banyak media, tidak hanya RSI, yang juga melakukan hal sama. Banyak media yang tidak benar-benar serius menggarap media daring mereka
Tutupnya media ini mengundang banyak tanggapan dari berbagai kalangan. Baik dari pemerhati media dan budaya populer, sampai mereka yang juga pernah berkarya dan ambil bagian dalam sejarah perjalanan media tersebut.
Salah satunya adalah komika Soleh Solihun. Sebelum menjadi komika seperti sekarang, Soleh terlebih dahulu meniti karier sebagai wartawan musik.
Dia pernah bergabung di majalah tersebut dari 2008-2012. Dia mengatakan bahwa kariernya sebagai komika saat ini juga tak lepas dari pengalamannya bekerja di sana.
Soleh menuturkan, ketika menjadi wartawan di RSI, dia sering didapuk menjadi MC (Master of Ceremony) untuk acara yang digelar kantornya. Dari sana, bakat melawaknya mulai terlihat.
Soleh perlahan dikenal sebagai orang yang pandai membuat orang tertawa, selain juga sebagai wartawan musik yang andal.
Sejak zaman kuliah, bahkan sebelum RSI berdiri di Indonesia, Soleh memang sudah bermimpi menjadi wartawan musik, dan berharap bisa menjadi wartawan RSI tatkala media tersebut buka di Indonesia.
Gayung pun bersambut, setelah malang melintang di beberapa media musik lain, Soleh berhasil mewujudkan mimpinya.
“Menjadi wartawan di Rolling Stone Indonesia memang bisa dibilang sebagai mimpi bagi setiap wartawan musik di Indonesia. Saya bangga pernah menjadi bagian sejarah perjalanan media tersebut di Indonesia,” tuturnya.
Meski punya banyak kenangan tentang RSI, Soleh mengaku tak kaget saat mendengar media tersebut berhenti beredar di Indonesia. Menurutnya kematian media cetak, termasuk majalah, adalah hal yang tak dapat dielakkan. “Saya tidak kaget sama sekali.”
Soleh juga melihat kegagapan menghadapi perkembangan teknologi sebagai salah satu akar permasalahannya. Perubahan pola bisnis media yang jadi mengedepankan kuantitas berita pada media daring, membuat berkurangnya kualitas artikel berita.
“Ketika kuantitas yang dikejar, kualitasnya kan jadi berbeda. Tuntutannya berbeda, yang saya rasakan juga waktu itu pembuatan konten untuk daring tidak sama seriusnya untuk di majalahnya,” katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan pengamat musik dan budaya pop Idhar Resmadi. Ketika menjadi kontributor untuk RSI pada 2010-2014 dia merasakan pula adanya perbedaan perlakuan dan standar untuk konten versi daring dan cetaknya.
“Saya melihat memang ada pride yang lebih ketika kita membuat artikel berita untuk majalah ketimbang daring. Daring untuk buang-buang rilis saja,” katanya.
Meski begitu, Idhar melihat sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi secara spesifik di RSI, tetapi juga hampir di semua media cetak yang melakukan konvergensi ke media daring. Berdasarkan penelitiannya, koran seperti Pikiran Rakyat di Bandung juga mengalami gejala yang sama.
“Banyak media, tidak hanya RSI, yang juga melakukan hal sama. Banyak media yang tidak benar-benar serius menggarap media daring mereka," katanya.
Pengelola media cetak di Indonesia saat ini agaknya belum menyadari bahwa suatu saat media mereka harus beralih ke media daring. Konten andalan mereka masih dikebiri di dalam format cetak saja. Media daring, hanya jadi ekses untuk artikel yang sering kali tak bermutu.
Sementa itu wartawan senior gaya hidup di Harian Kompas Bre Redana mengatakan bahwa media gaya hidup terbilang lebih cepat berhenti beroperasi karena arus digitalisasi sebenarnya paling banyak memengaruhi pembaca karya jurnalisme di genre ini.
Menurutnya, mengutip pakar komunikasi dari Kanada Marshall McLuhan, medium adalah pesan itu sendiri. Medium punya peran utama, bukan content atau isi.
“Kalangan urban kita [terutama] sangat mudah terbawa arus konsumsi, yang intinya adalah soal gaya hidup. Transformasi kehidupan menuju dunia digital selain soal kepraktisan sebagian juga soal gaya hidup,” ungkapnya.
Peralihan medium dari cetak ke digital, perubahan gaya hidup dan gaya konsumsi informasi pembaca adalah faktor utama penentu nasib media cetak di masa depan. Bre mengatakan, wartawan di setiap generasi punya tantangannya tersendiri. Bagi wartawan di era sekarang, menjawab perubahan ini dengan inovasi konten adalah tantangannya.
“Tiap generasi memiliki tantangan sendiri dan tanya mereka yang mampu menjawabnya,” ujar Bre.