Ilustrasi/Gettingbalance
Bisnis Style

Di Balik 'Nikmatnya' Jam Kerja Fleksibel

Wike Dita Herlinda
Minggu, 4 Februari 2018 - 17:33
Bagikan

“Manusia memang tidak ada puasnya.” Kalimat itu sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari, saat mengomentari keinginan seseorang setelah melihat kondisi atau pencapaian orang lain. Padahal, sendirinya sudah diberkahi dengan kehidupan yang cukup mapan.

Tidak jarang kita mendengar ‘pekerja kantoran’ yang ingin banting setir dan terjun ke dunia kerja yang tidak terikat jam pabrik atau kantor, karena memiliki ekspektasi tinggi soal kebebasan, independensi, dan kerenggangan ikatan dinas atau komitmen.

Pekerjaan-pekerjaan kreatif seperti jurnalis, seniman, freelancer, desainer grafis, dan sebagainya yang terlihat seolah-olah memiliki jam kerja yang fleksibel menjadi impian banyak orang—khususnya generasi muda—belakangan ini.  

Akan tetapi, di balik citra tersebut, terselip fakta bahwa pekerja di sektor nonmanufaktur kerap kali menghadapi persoalan kesehatan yang serius dibandingkan dengan mitra mereka yang bekerja teratur pada jam kantor. Sayangnya, fakta tersebut jarang diekspose ke muka publik.

Contoh sederhana yang cukup sering terjadi adalah seorang pekerja kreatif dengan jam terbang tinggi dan himpitan deadline kerja yang sangat ketat seringkali abai terhadap jadwal makan dan istirahat. Ujung-ujungnya, tak sedikit dari mereka yang tidak sadar terjangkit penyakit kronis.

Jam kerja yang fleksibel di kalangan pekerja kreatif kerap kali berbanding lurus dengan gangguan kesehatan. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman dan komitmen yang lebih serius di antara penyelenggara kerja untuk mewujudkan ekosistem kerja yang sehat dan kondusif.  

Apalagi, pemerintah terus bergerak untuk memaksimalkan bonus demografi, dimana tenaga kerja produktif Indonesia diperkirakan tumbuh menjadi 64% dari jumlah populasi. Jika bonus demografi itu digarap dengan baik, Indonesia berpotensi menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia.

Pengelolaan sumber daya manusia (SDM) sebagai modal utama proyek tersebut menjadi sangat krusial. Pengelolaan yang dimaksud tidak melulu soal peningkatan keahlian dan kompetensi, tetapi menjangkau ke masalah kesehatan dan keselamatan dalam ekosistem pekerja kreatif.

Bersinggungan dengan bulan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Nasional selama 12 Januari—12 Februari 2018, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) menggelar festival Work Life Balance untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan kerja yang kondusif bagi pekerja kreatif.

Acara yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45 Menteng, Jakarta itu juga diselenggarakan paralel di kota-kota lain selama Februari, yaitu di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Terkait festival tersebut, Ketua Sindikasi Ellena Ekarahendy menjelaskan kasus kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan akibat kerja terus meningkat dan tidak diikuti dengan jaminan hukum dan instrumen turunannya yang memadai dalam menghadapi dunia kerja pada era digital.

“Sebagai sebuah serikat pekerja, Sindikasi melihat bulan K3 sebagai momentum yang tepat untuk mendialogkan kemungkinan-kemungkinan solusi bagi kondisi-kondisi yang dialami pekerja nonmatufaktur,” ujarnya.

 

Dia mengatakan festival tersebut membedah soal peluang, tantangan, kesehatan, dan keselamatan kerja dalam ekonomi digital. Topik lain yang diulas dalam pergelaran tersebut adalah isu tukar tambah (pe)kerja maya dan kesehatan mental pekerja digital.

 

“Seluruh rangkaian acara dapat diikuti secara terbuka, tidak hanya oleh parra pelaku atau penggiat ekonomi kreatif, tetapi juga untuk siapapun elemen masyarakat yang tertarik mengetahui geliat dan dinamika di sektor ini,” kata Ellena.

 

Selain mencari solusi bagi pekerja kreatif, festival tersebut dapat menjadi ruang berekspresi bagi awak industri media dan kreatif, yang meski sering disebut sebagai tulang punggung ekonomi masa depan Indoensia, masih harus menghadapi sejumlah kerentanan.

 

RENTAN DEPRESI

 

Di balik industri kreatif yang tumbuh 43% pada tahun lalu dan menyerap lebih dari 15,9 juta tenaga kerja pada 2016, tersimpan fakta memprihatinkan bawasannya para pekerja kreatif lebih rentan mengalami depresi akibat kecenderungan overwork.

 

Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Jepang, misalnya, tercatat 96 pekerja kreatif tewas karena sakit dan 93 bunuh diri dan percobaan bunuh diri akibat gangguan mental karena terlalu banyak bekerja atau yang disebut karosi.

 

Menurut Ellena, pekerja nonmanufaktur di Indonesia juga kerap mengalami gejala gangguan psikologis yang serupa. Banyak pekerja kreatif yang terbiasa dengan lembur karena tidak adanya sistem yang memproteksi jam kerja mereka. Bahkan, tidak sedikit yang dibayar dengan upah minimalis.

 

Menurut Koordinator Lembaga pemerhati K3 Local Initiative for OSH Network, Wiranta Yudha Ginting, pemerintah belum memiliki koridor proteksi yang mumpuni untuk melindungi para pekerja kreatif yang lebih banyak bergerak di ranah informal.

 

Padahal, masalah overwork di seluruh negara Asia semakin menjadi isu kritis yang harus segera dituntaskan. Untuk itu, dia mengusulkan adanya pendefinisian ulang hubungan ketenagakerjaan di sektor kreatif; seperti definisi ulang tempat kerja dan job description.

 

Untuk diketahui, Organisasi Buruh Dunia (International Labor Organization/ILO) mencatat 26,3% pekerja di Indonesia bekerja selama lebih dari 49 jam dalam sepekan. Padahal UU No.13/2013 tentang ketenagakerjaan hanya mempebolehkan maksimal jam kerja adalah 40 jam/pekan.

Editor : Sutarno
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro