Bisnis.com, JAKARTA -- Mikroplastik kini ramai diperbincangkan. Hasil riset terbaru dari State University of New York at Fredonia menunjukkan sejumlah merek air minum dalam botol di seluruh dunia rata-rata tercemar mikroplastik.
Partikel yang ditemukan dalam air kemasan itu rata-rata berukuran 6,5 mikrometer, yang setara dengan ukuran sel darah merah. Ada juga yang berukuran 100 mikrometer atau seukuran diameter rambut.
Peneliti State University of New York at Fredonia menguji 259 botol air minum dari 11 merek yang dijual di 8 negara. Hasilnya, 93% air botolan yang menjadi contoh ternyata mengandung mikroplastik.
Mikroplastik adalah pecahan terkecil sampah plastik buangan manusia. Karena sifatnya yang tak bisa terurai, limbah ini akan terus terpecah menjadi bagian-bagian kecil. Penelitian ini tidak mampu mengungkap sumber mikroplastik, apakah dari sumber mata air ataukah saat proses pengemasan air minum ke dalam botol.
Terkait temuan itu, ahli toksikologi dari Universitas Indonesia (UI) Budiawan mengatakan mikroplastik atau partikel yang berukuran sama atau lebih kecil dari sel manusia dapat diserap dan masuk aliran darah. Selain itu, akumulasi mikroplastik dalam tubuh dapat mengganggu kerja organ vital, seperti ginjal dan hati.
"Akumulasi terjadi kalau tubuh tidak mengeluarkan partikel asing secara alami lewat ekskresi," paparnya, seperti dilansir dari Tempo.co, Jumat (16/3/2018).
Penelitian tersebut berskala global dan merupakan hasil kerja sama dengan Orb Media Network yang dipublikasikan pada Kamis (15/3).
Ahli nutrisi dan pemilik klinik kesehatan di Tangerang, Tan Shot Yen, menyatakan potensi bahaya semakin nyata terhadap tubuh. Sebab, semakin kecil partikel mikroplastik, semakin mudah dan semakin ba-nyak diserap sel.
Menurut dia, penelitian menyeluruh tentang dampak mikroplastik bagi manusia memang masih minim. Namun, Tan merujuk salah satu penelitian dari Pusat Informasi Bioteknologi Nasional AS tentang dampak partikel itu terhadap plankton di perairan bebas yang telah tercemar.
"Dampak terberatnya adalah gangguan pertumbuhan dan reproduksi. Tentu saja, jika mencetuskan radikal bebas, risiko kanker tidak bisa ditepis," tuturnya.