Hujan dan angin kencang pada awal Januari sore itu tidak menghalangi masyarakat Kampung Nage, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Flores, NTT untuk terus menari dan bernyanyi. Lengkap dengan pakaian adat- baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak-menari sambil bernyanyi mengelilingi Nabe Teguh.
Adapun, Nabe merupakan suatu tempat yang terbuat dari batu dengan tinggi sekitar 2 meter yang biasa digunakan untuk berkomunikasi dengan leluhur, sedangkan Teguh merupakan nama salah satu suku di Kampung Nage.
"Iyo a oh uwi o, oh luka kau mai" begitu bunyi syair lagi yang terus didendangkan sebagai refrain oleh mereka yang menari mengelilingi Nabe Teguh. Beberapa pemuda nampak bergiri di atas Nabe menyanyikan solo berisi syair memanggil para nenek moyang.
Cuplikan singkat di atas adalah salah satu rangkaian upacara "Oh Luka", suatu upacara yang diyakini masyarakat Nage sebagai perang melawan hujan dan angin. Oh Luka merupakan upacara hari ketiga dari rangkaian 3 hari Raba Nage.
Pada kesempatan ini, wisatawan boleh ikut menari dan menyanyi bersama dengan catatan harus mengenakan pakaian adat. Warga Kampung Nage juga menyediakan pakaian adat yang bisa disewa wisatawan. Masyarakat Ngada umumnya merayakan Reba pada Desember hingga Maret setiap tahun.
Reba bagi orang Nage khususnya dan Bajawa pada umumnya merupakan salah satu upacara sentral. Reba bukan hanya upacara syukur tetapi juga sedikit banyak mengungkapkan cara orang Ngada memandang kehidupan.
Momen Reba dapat dikatakan menjadi saat di mana semua keluarga berkumpul dalam rumah adat (Sao) masing-masing untuk mensyukuri panen, membicarakan sejarah pembagian tanah, dan memprediksi perjalanan selama setahun ke depan hingga Reba berikutnya. Selain menggelar upacara di dalam rumah adat, terdapat juga upacara bersama-sama warga sekampung.
Perjalanan Hidup
Dalam suatu rangkaian, pada hari pertama setiap rumah adat merayakan Kobe Dheke Reba atau malam awal Reba. Pada saat ini, pemimpin rumah membuka acara Reba dengan menyukuri sekaligus "membaca" perjalanan hidup ke depan.
Menggunakan satu tandan pisang, tetua adat menghitung masing-masing tiga buah pisang dengan urutan keyang-lapar (bo'o-mange). Jika pada akhir hitungan menghasilkan kenyang, keluarga dalam rumah itu percaya akan diberkahi hasil panen yang baik sehingga menjadi saat untuk bekerja keras.
Sebaliknya, jika hitungan menghasilkan lapar, maka akan dipinjam dari sisir pisang berikutnya untuk mendapatkan kenyang. Bagi masyarakat Ngada hasil lapar berarti juga mengingatkan untuk berhemat, banyak menyimpan stok makanan karena musim diprediksi bakal sulit
Keesokan harinya diadakan upacara menari Jai-tarian tradisional Ngada-bersama sebagai ungkapan syukur dan kearaban. Acara hari ketiga, bagi warga Kampung Nage menjadi acara puncak karena akan menyanyi dan menari bersama dalam Oh Luka sebagai warga kampung, dan menghitung kembali pembagian aset tanah sebagai suatu rumah adat.
Oh Luka umumnya dilakukan pada siang hingga sore hari. Upacara ini dimulai dengan masuknya warga Kampung Bowaru, tetangga kampung Nage ke ujung kampung Nage. Orang Bowaru konon merupakan sekutu dekat Kampung Nage ketika zaman perang dahulu kala.
Hanya keturunan tertentu dari Kampung Bowaru ini yang diberi keistimewaan untuk berdiri di atas Nabe Teguh yang berlokasi persis di tengah Kampung Nage. Mereka yang mendendangkan syair perjuangan dan memanggil nenek moyang untuk bersatu dan bersama-sama melawan angin dan badai serta mendoakan "Uwi" ubi yang dikumpulkan setiap rumah di atas Nabe Teguh.
Oh Luka kemudian ditutup dengan "gowi pene" atau berbisik di pintu Sao. Dua orang tetua adat akan berperan sebagai angin yang mengamuk, sementara dua lainnya sebagai pemilik rumah yang akan menyucapkan syair yang kasar untuk menolak badai.
Ubi yang terkumpul di Nabe Teguh kemudian di bawa pulang ke masing-masing rumah untuk dilanjutkan dengan upacara "Sui Oh Uwi" pada malam hari. Upacara terakhir ini merupakan kegiatan mengingat kembali pembagian tanah milik setiap sao.
Bagi orang Ngada, pada setiap sao melekat tanah yang diwariskan dari leluhur. Pada Sui Oh Uwi, tetua adat sambil mengiris "Uwi" (ubi), mulai menyebutkan satu persatu lokasi tanah yang menjadi milik rumah adat tersebut. Ubi tersebut kemudian dimakan bersama-sama.
Herman Nabu, tetua adat Sao Longarade dan Keka Taru, menjelaskan bahwa tanah merupakan warisan turun temurun yang diwariskan kepada turunan perempuan karena menganut sistem matrilineal. Penyebutan semua aset tanah, jelasnya, bertujuan mengingatkan kembali milik dan tanggung jawab pengelolaan atas tanah.
Pada era modern, tanah itu disertifikasi atas nama Sao tetapi pengelolaan dan pembayaran pajak diserahkan kepada angota rumah yang menggarap lahan tersebut. "Go ngata go ngata, go gita go gita [Milik orang lain tetaplah milik orang lain, milik kita adalah milik kita], itu yang kami hidupi," tegasnya.