Bisnis.com, JAKARTA– Direktur komunikasi di Centre Pompidou, Paris Benoit Parayre mengungkapkan bahwa pengunjung museum menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengambil gambar daripada melihat karya seni.
“Mereka mengambil gambar, dan bahkan tidak berhenti di depan lukisan untuk menemukan hasil potret yang sesuai,” ceritanya, seperti yang dikutip dari Bloomberg baru-baru ini.
Dia mengatakan, alangkah lebih baiknya jika pengunjung meluangkan lebih banyak waktu dengan menikmati seni.
Dengan begitu, para pengunjung bisa benar-benar berbicara tentang karya seni, lalu menjelaskan kepada orang-orang bahwa mereka harus menikmati dan menemukannya juga. Setelah itu, giliran memotret karya seninya.
“Baru-baru ini, saya mulai menganggapnya [berfoto di depan karya seni] bermasalah. Bukan hanya karena gangguan, tetapi karena itu mengubah proses fisik dalam memandang seni. Sesungguhnya saya setuju bahwa ada waktu dan tempat untuk memotret seni,” tuturnya.
Sementara itu, di sisi lain, Parayre berpandangan bahwa pelarangan fotografi adalah perjuangan yang sia-sia. Pasalnya, para pengunjung akan bersembunyi dan tetap melakukannya.
Pendapat ini berlandaskan pengalamannya mengunjungi banyak museum dari Shanghai ke Brasil, lalu ke Los Angeles hingga ke New York.
Adapun, Chief Communications Officer di Museum Seni Metropolitan di New York Kenneth Weine memandang dari sudut pandang museum bahwa menjadi sesuatu yang mengagumkan ketika para pengunjung bisa mengenang pengalaman mereka melalui potret/gambar.
Sebagai seorang pemasar, sangat penting baginya bahwa kegiatan berfoto semacam itu bisa membuat museum dapat diakses oleh khalayak seluas mungkin.
“Prinsip yang paling penting adalah melindungi seni sekaligus para pengunjung,” ujarnya.
Setiap museum pada kesimpulannya memang memiliki kebijakan sendiri, apakah dengan mengijinkan fotografi secara total, atau di spot-spot tertentu, atau justru kekeuh melarang kegiatan berfoto. Masing-masing punya pendekatan yang berbeda terhadap fenomena selfie.