Ulfah (24) membuka awal 2020 dengan pengalaman disergap banjir yang datang tiba-tiba. Sekira pukul 04.00 WIB, 1 Januari 2020 di kediamannya di Perumahan Griya Jati Sari, Jakasampurna, Bekasi, air masuk ke dalam rumah setinggi mata kaki.
"Saya bangun, handphone dan iPad sudah ngambang di air," ujarnya.
Menjelang siang, ketinggian air semakin naik. Mobil yang terparkir di garasipun tak luput digenangi banjir. Ulfah yang kemudian mengungsi bersama orang tua di rumah kerabat mengaku pasrah, sebab banjir datang seolah tak memberi waktu untuk melakukan antisipasi apa pun.
Ulfah hanyalah satu dari ribuan warga Jakarta dan sekitarnya yang mendapat kado pahit awal tahun berupa terjangan banjir. Selain persoalan manajemen pengelolaan air dan tata kota, tak bisa dipungkiri bahwa cuaca ekstrem menjadi salah satu faktor penting yang mendatangkan banjir di awal tahun ini.
Menurut World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia, selain membawa limpahan air, banjir juga mengalirkan sejumlah penyakit, seperti demam, tifus, kolera, leptospirosis hingga hepatitis A. Pemerintah dan pihak medis pun mengimbau warga terdampak banjir untuk mengantisipasi kemungkinan terjangkit sejumlah penyakit tersebut.
Namun, ada sisi lain dari bencana yang seringkali luput dari perhatian, yakni dampak terhadap kesehatan mental. Praktisi emotional healing dan mindfulness Adjie Santosoputro mengatakan, potensi kontaminasi penyakit yang mengancam para korban banjir sebenarnya bisa memunculkan rasa cemas yang berlebihan.
Selain itu, seperti yang terjadi pada Ulfah, banjir juga membuat korban harus mengungsi dari rumah, menganggu zona nyaman yang telah terbentuk sebelumnya, termasuk pemenuhan kebutuhan poko seperti makanan, air, pakaian, hingga listrik. Sehingga bencana ini juga dapat memperbesar rasa takut, panik dan tidak aman.
"Di sisi yang lain, biasanya kita kan terkoneksi berinteraksi, jadi semakin lama hidup tanpa listrik, apalagi malam yang gelap, akan semakin memunculkan rasa kesepian, terisolasi, keterasingan," katanya.
Dalam konteks yang lebih luas, kecemasan yang muncul akibat kondisi lingkungan yang berubah-ubah, cuaca buruk atau iklim yang semakin tidak pasti disebut eco-anxiety. Di berbagai belahan dunia, krisis perubahan iklim telah mulai memunculkan perhatian terhadap dampak kesehatan mental bagi penduduk dunia.
Praktisi meditasi The Golden Space Indonesia Bagia Arif Saputra menjelaskan, bagi warga terdampak banjir, langkah paling awal untuk merawat kesehatan mental di kondisi yang tak menentu seperti ini adalah menerima emosi apa pun yang muncul. Harus dipahami bahwa rasa marah, sedih, depresi, yang muncul di tengah bencana adalah sesuatu yang wajar dan tak perlu dihindari.
Kemudian, yang tak kalah penting, bicarakan hal itu kepada keluarga, teman, kerabat atau orang yang dipercaya.
"Jangan disimpan sendiri. Saat berbagi cerita, kita sebenarnya juga melepaskan stres kita keluar dari sistem," ujarnya.
Dia juga mengatakan, penyintas bencana rentan terhadap gejala post traumatic stress disorder. Sehingga penting untuk membatasi menonton video atau membaca berita tentang bencana jika itu menambah kecemasan.
Pascabencana juga disarankan untuk untuk melakukan aktivitas positif atau hobi yang biasa dinikmati di waktu senggang. Aktivitas ini dapat membantu penyintas untuk perlahan-lahan bangkit.
Sementara itu Adjie mengatakan, kesehatan mental dalam kondisi bencana dibangun dengan cara menghangatkan kembali hubungan antarmanusia. Selain berupaya secara eksternal untuk mengurangi potensi banjir, perlu juga upaya internal berupa pengelolaan emosi dan ketenangan batin agar tak memperburuk keadaan.
Adjie menuturkan, kehadiran dan keterhubungan secara nyata antarmanusia memiliki daya begitu kuat untuk menjaga kewarasan dalam situasi sulit. Dia pun menyarankan untuk memperbaiki kehadiran dan keterhubungan nyata dengan orang di sekitar.
"Perbaiki kehadiran itu misal kalau pas ngobrol tidak sambil menatap layar HP, dengerkan sepenuh hati," katanya.
Jangan ragu untuk meminta bantuan profesional ke psikolog atau psikiater jika diperlukan.