Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah pusat dan daerah kini memakai cara Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk memutus rantai penyebaran virus Corona yang semakin meluas.
Sayangnya langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum tentu bisa berhasil tanpa keterlibatan masyarakat yang harus sadar mempunyai posisi sebagai garda terdepan.
Oleh sebab itu menurut Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Husein Habsyi mengatakan strategi dari pemerintah belum tentu optimal jika tidak melakukan perbaikan pola komunikasi kepada masyarakat. Terlihat dari tingkat keterlibatan masyarakat dalam mengatasi pandemi ini masih sangat rendah.
“Saat ini kita [masyarakat] masih tidak tahu status awal. Apakah PDP, lalu meninggal apakah karena Covid-19. Jadi dimana kewaspadaan yang harus dilakukan. Maka harus identifikasi rapid test ini untuk kepentingan percepatan penanganan mata rantai Covid-19,” ungkap Husein dalam konferensi pers virtual melalui Zoom, beberapa waktu lalu.
Dia menyatakan, IAKMI pun menyarankan agar pemerintah seharusnya memprioritaskan rapid tes untuk masyarakat yang pasti melakukan kontak dengan pasien positif. Tanpa adanya pelacakan rekam jejak pasien, penanganan melalui rapid test bisa tak efektif.
“Maka itu konsep PSBB ini harus diperkuat dengan unsur komunitas yang membantu dan mendeteksi kasus, kemudian mengurangi stigma diskriminasi karena ini bisa membantu menenangkan lingkungan,” tutur Husein.
Seperti yang dinyatakan Husein, stigma negatif dalam masyarakat memang masih menjadi penghambat upaya pemutusan mata rantai ini. Di dalam masyarakat masih terjadi penolakan terhadap pasien atau anggota keluarga positif Covid-19. Bahkan, beberapa kasus penolakan pemakaman bagi pasien meninggal Covid-19 juga masih terjadi.
Peneliti Universitas Gadjah Mada dalam Tim Kaji Cepat Studi Sosial Covid-19, Esti Anantasari saat ini penanganan Covid-19 sudah sulit mencari rantai virus dan memutuskan virus. Sebaliknya, cara tercepat adalah dengan memperkuat komunitas masyarakat, dan hal itu hanya bisa terwujud tanpa adalah saling curiga dan diskriminasi dalam masyarakat.
“Maka perubahan komunikasi, berupa transparansi rekam jejak pasien penting tanpa membuka identitas pasien. Pembukaan identitas itu pula yang berpotensi membentuk stigma,” tuturnya.
Wakil Sekjen Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia Dicky Pelupessy menambahkan, komunitas masyarakat tidak hanya bagi golongan masyarakat urban. Sebaliknya, upaya komunikasi antisipasi Covid-19 ke masyarakat rural dan masyarakat adat perlu segera dilakukan. Hal ini mengingat pada masa Lebaran mendatang, ada potensi masyarakat tetap nekat melakukan mudik.
“Hal-hal seperti ini harus menjadi bagian edukasi publik. Pemerintah harus mendiskusikan dan menerjemahkan langkah mereka kepada kelompok adat dan masyarakat rentan,” jelasnya.