Bisnis.com, JAKARTA - Departemen Fisika Kedokteran/Klaster Medical Technology IMERI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia membantah rumor penggunaan termometer tembak (thermogun) berbahaya dan merusak otak karena menggunakan laser.
Dijelaskan oleh tim penyusun dari FKUI, laser merupakan akronim dari light amplification by stimulated emission of radiation atau amplifikasi cahaya melalui pancaran terstimulasi. Cahaya dengan satu warna atau monokromatik ini memiliki keandalan utama berkas cahaya yang koheren. Beberapa contoh aplikasinya adalah laser pointer untuk presentasi, pembaca/penulis CD/DVD, hingga pemotong jaringan pada prosedur pembedahan. Energinya disesuaikan dengan fungsi, semakin besar akan semakin destruktif.
Beberapa thermogun industri mungkin saja dilengkapi dengan laser energi rendah, tetapi fungsinya sebagai penunjuk (pointer) untuk ketepatan arah, sehingga tidak ada kaitan langsung dengan fungsi pengukuran temperatur.
Apakah laser tersebut berbahaya untuk otak manusia? “Sama halnya dengan laser pointer, laser ini tidak ada efek berbahaya untuk otak, tetapi jangan sampai menembak ke mata secara langsung karena dapat merusak retina yang jelas, penggunaan thermogun industri untuk mendeteksi temperatur tubuh manusia tidak tepat karena bukan peruntukannya,” tulis tim dari FKUI dalam pernyataannya.
Berbeda dengan termometer raksa atau termometer digital yang menggunakan prinsip rambatan panas secara konduksi, thermogun menggunakan prinsip rambatan panas melalui radiasi. Dalam prinsip ilmu fisika kedokteran, setiap benda dengan temperatur lebih besar dari 0 Kelvin akan memancarkan radiasi elektromagnetik atau sering disebut dengan radiasi benda hitam (Asas Black). Kelvin (K) adalah satuan baku untuk temperatur dengan konversi 0C setara dengan 273 K.
Kisaran suhu tubuh manusia normal (36 - 37,5C) berada di dalam pancaran spektrum inframerah jika dilihat dari jangkauan radiasi elektromagnetik.
Energi radiasi dari permukaan tubuh ditangkap dan kemudian diubah menjadi energi listrik dan ditampilkan dalam angka digital temperatur derajat celcius pada thermogun. Prinsip teknologi serupa juga digunakan di kamera termal untuk skrining temperatur di bandara serta thermal goggles di militer untuk mendeteksi keberadaan seseorang di malam hari yang gelap.
Termometer inframerah yang tersedia di pasaran umumnya untuk mendeteksi temperatur gendang telinga (termometer telinga) atau temperatur dahi (termometer dahi). Termometer dahi lebih cocok untuk skrining gejala demam Covid-19 karena hanya perlu ditembak ke arah dahi tanpa perlu kontak atau bersentuhan langsung dengan kulit.
Termometer ini mendeteksi temperatur arteri temporal pada dahi untuk mengestimasi suhu tubuh seseorang. “Hal yang perlu diperhatikan adalah akurasi pengukuran temperatur bergantung pada jarak dan sudut alat thermogun terhadap objek yang diukur. Maka dari itu, jangan heran jika hasil pengukuran bisa berubah-ubah,” catat dr. Anindya Pradipta Susanto, tim penyusun terkiat thermogun dari FKUI.
Dijelaskannya, satu parameter penting yang menentukan tingkat akurasi pengukuran thermogun adalah perbandingan jarak dengan luas titik pengukuran, biasanya angka perbandingan ini adalah 12:1. Dengan kata lain, untuk mengukur suatu titik dengan luas 1 cm persegi, jarak pengukuran ideal adalah 12 cm. Di sinilah sebenarnya peran laser dalam suatu thermogun, yaitu membantu operator menentukan titik pusat pengukuran.
“Alat thermogun untuk skrining temperatur seseorang bekerja dengan menerima pancaran inframerah dari benda, bukan dengan memancarkan radiasi apalagi laser. Namun alat thermogun dengan laser hanya ditemui untuk keperluan pengukuran termperatur di industri, bukan untuk medis,” tuturnya.
Lebih lanjut, sebagai alat pengukur suhu yang menjadi indikator kesehatan, thermogun direkomendasikan untuk dikalibrasi minimal 1 tahun sekali. Kalibrasi diperlukan agar skrining suhu terjaga akurasinya karena informasi yang salah bisa membuat gagal skrining suhu (positif palsu dan negatif palsu) sehingga membahayakan banyak orang.
Menurut FKUI, pengukuran temperatur tubuh dengan thermogun tidak bisa dijadikan acuan utama terkait apakah seseorang menderita Covid-19 atau tidak, karena pasien yang terinfeksi virus ini bisa muncul tanpa gejala demam.
“Kami berharap penggunaan thermogun secara luas di tempat-tempat publik seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan layanan transportasi publik disertai dengan SOP yang jelas,” tambah Prasandhya Astagiri Yusuf, salah satu tim penyusun terkait fungsi thermogun.