Bisnis.com, JAKARTA -- Sejak 2008 lalu FAO memperkirakan krisis pangan global akan terjadi, dimana persediaan pangan harus ditingkatkan sampai 50% di tahun 2030.
Pada April 2020, FAO juga mengatakan bahwa krisis pangan global akan datang lebih cepat sebagai dampak pandemi Covid-19. Hal ini pun menjadi perhatian Presiden Jokowi. Kebijakan pembentukan food estate pun diambil untuk menjawab permasalahan krisis pangan, terutama ketersediaan beras. Padahal, berbicara ketahanan pangan tidak harus terkait dengan swasembada beras.
Yayasan KEHATI melalui kertas kebijakan yang dikeluarkan pada 2019, merekomendasikan agar pemerintah dan para pihak harus mengembalikan konsep pangan nusantara yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal.
Sastrapradja dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin Kedaulatan Pangan” menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia harus menyadari dan wajib mengetahui tentang kekayaan hayati yang dimiliki bangsanya.
Berbicara tentang sumber pangan dan budaya lokal dapat terhubung dengan seni memasak gastronomi. Sebagai mazhab kuliner yang mengaitkan erat antara makanan dan akar budaya, gastronomi dapat memanfaatkan sumber pangan lokal yang melimpah di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya sagu.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos, di Kepulauan Meranti, Riau, terdapat lebih dari 300 jenis makanan dari olahan sagu. Salah satu masakan berbahan sagu disana yaitu nasi sagu. Nasi sagu rempah atau barempa diolah dari sari pati sagu dan dicampur dengan bahan-bahan lokal lain seperti cengkeh, kapulaga, kayu manis, jahe dan serai.
Di Sumatra Selatan terdapat pempek, dan Sumatra Barat memiliki Lompong Sagu, kue khas minang yang mulai lenyap dari meja makan.
Di Pontianak Kalimantan Barat terdapat beberapa makanan dari olahan sagu seperti bagea, sagu gunting, mie sagu, dan bubur sagu.
Di Kabupaten Sangihe terdapat 259 jenis makanan berbahan sagu dan berhasil tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2014 atas rekor penyelengaraan penyajian 259 makanan berbahan dasar sagu dengan variasi terbaik pada Festival Sangihe.
"Kalau ditelisik, masih banyak makanan nusantara yang terbuat dari olahan sagu. Apalagi jika bicara Maluku dan Papua," kata Riki, Senin (12/10/2020).
Riki menerangkan melalui gastronomi, kebanggan masyarakat Indonesia khususnya generasi muda dapat dibangun. Makanan lokal yang disantap hari ini tidak hanya berbicara materi bahan baku, namun sumber inspirasi leluhur, mulai dari pengetahuan, nilai dan kebajikan, serta teknologi lokal.
Selain itu, pengembangan sagu yang ditanam secara lokal membantu meningkatkan ekonomi suatu daerah, mendukung para petani dan mengurangi gas rumah kaca, serta sumber daya yang digunakan dalam mengangkut makanan.
Menurut Akademisi Politeknik Sahid dan juga Anggota Indonesian Gastronomy Community (IGC), Asep Parantika, eksistensi gastronomi selama ini sangat bergantung pada perhelatan tertentu. Sebut saja; festival makanan, pasar petani, acara memasak dan demonstrasi, serta mencicipi produk makanan berkualitas dan aktivitas pariwisata yang berhubungan dengan makanan.
Adapun dari kegiatan-kegiatan tersebut, tidak hanya kehadiran pelaku usaha kuliner formal berskala restoran, tetapi juga cukup banyak keterlibatan pekerja informal. Sehingga kebutuhan pada sertifikasi menjadi sangat penting untuk bisa menjamin keberlangsungan mereka terutama dalam masa pandemi Covid-19.
“Syaratnya gastronomi itu harus ada atraksi, memberi pengalaman, jadi ada yang bisa dibeli, dilihat atau diamati prosesnya, dan dilakukan sendiri,” tuturnya.
Guna mengatasi hal ini, pemerintah tak bisa jalan sendirian. Semua stakeholder harus terlibat, terutama dalam merumuskan CHSE yang ideal di setiap daerah.
Tujuannya, agar geliat wisata gastronomi dari pekerja informal bisa dilaksanakan tanpa mengabaikan standar protokol kesehatan.