Bisnis.com, JAKARTA - University of Oxford tengah meneliti obat antiparasit ivermectin untuk potensinya mengobati Covid-19. Ini adalah sebuah uji yang diharapkan bisa menjawab kontroversi dari pengobatan yang telah luas direkomendasikan di dunia meski ada peringatan dari banyak otoritas kesehatan dan kurangnya data yang mendukung keamanan penggunaannya.
Ivermectin atau yang biasa dikenal obat cacing ini akan menjadi bagian dari studi Principle (Platform Randomised Trial of Treatments in the Community for Epidemic and Pandemic Illnesses) yang disponsori pemerintah Inggris.
Studi ini mengkaji pengobatan non-rumah sakit melawan Covid-19 dan juga sebuah uji acak skala besar yang dipandang sebagai 'standar tertinggi' dalam mengevaluasi efektivitas sebuah obat.
"Sangat mirip dengan hydroxychloroquine sebelumnya, sudah lebih dulu ada penggunaan yang tidak sesuai label dalam jumlah yang sangat besar," kata Stephen Griffin, seorang associate professor di University of Leeds.
Dia menunjuk penggunaan itu terutama berbasis studi-studi uji tanding obat itu yang mampu menghambat replikasi virus Covid-19 di laboratorium menggunakan data keselamatan dari penggunaan luas obat itu sebagai antiparasit.
Studi yang dilakukan peneliti di Australia pada Maret 2020 itu tak mewakili kondisi sebenarnya dalam sel tubuh di mana kadar alami dosis obat itu jauh lebih rendah, menurut Griffin.
"Bahayanya dari penggunaan obat yang tak sesuai label seperti ini adalah...obat itu menjadi alat kepentingan kelompok tertentu atau pendukung pengobatan nonkonvensional dan menjadi dipolitisasi," kata Griffin.
Meski begitu sejumlah studi yang sifatnya pilot dan berskala kecil menunjukkan hasil awal bahwa ivermectin mampu mengurangi jumlah virus dan durasi gejala pada beberapa pasien Covid-19 gejala ringan. Namun, masih sedikit bukti yang didapat dari uji yang secara luas dan acak kalau obat yang sama bisa mempercepat pemulihan atau mengurangi angka kasus rawat inap rumah sakit.
Studi Principle diharapkan bisa membantu memberi kepastian akan efektivitas sekaligus keselamatan penggunaan 'obat ajaib' ini untuk Covid-19. "Caranya dengan membangkitkan bukti-bukti yang kuat," kata Chris Butler, profesor di Department of Primary Care Health Sciences, University of Oxford, yang juga satu di antara peneliti utama dalam studi Principle.
Uji melibatkan lebih dari 5.000 relawan di Inggris, usia dewasa atau lebih dari 18 tahun. Kepada mereka akan dibagi secara acak siapa yang mendapat tambahan pengobatan oral ivermectin selama tiga hari dan siapa yang pengobatan standar. Uji akan berlangsung sebulan sebelum kedua kelompok akan saling diperbandingkan.
"Mereka yang berusia 18 sampai 64 tahun dengan gejala atau sesak napas karena Covid-19 bisa gabung dalam uji asalkan masih dalam 14 hari sejak merasakan gejala itu atau menerima hasil tes yang positif," kata Butler.
Ivermectin selama ini dikenal memiliki profil keselamatan yang baik dan luas digunakan di dunia untuk beragam penyakit infeksi, di antaranya menyembuhkan infeksi parasit Onchocerciasis (river blindness). Penyakit yang bisa menyebabkan kebutaan ini disebabkan infeksi jenis cacing gelang yang ditularkan lewat gigitan berulang lalat hitam.
Ivermectin sejatinya tidak mahal karena generik. Obat ini juga telah tersedia selama puluhan tahun dengan penggunaan awal adalah untuk infeksi cacing parasit pada hewan ternak. Untuk Covid-19, penggunaannya terpantau terutama di Amerika Latin, Afrika Selatan, Filipina, India, dan beberapa negara di Eropa. Mereka menerabas peringatan dari otoritas kesehatan seperti WHO, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), dan Badan Obat-obatan Eropa (EMA) agar tidak menggunakan obat ini di luar uji klinis.
Dalam Studi Principle, ivermectin adalah obat ketujuh yang diinvestigasi. Sebelum ini adalah investigasi terhadap antibiotik azithromycind dan doxycycline yang kesimpulannya telah diumumkan pada Januari lalu kalau secara umum keduanya tidak efektif.