Bisnis.com, JAKARTA — Jika ada sesuatu yang bisa bersetia dengan manusia dalam jangka waktu yang sangat lama, itu adalah plastik. Sifatnya yang sebagian besar tidak terurai, memungkinkan benda itu secara harfiah bersama kita, selamanya.
Hampir 80 persen dari semua plastik yang pernah diproduksi berakhir di tempat pembuangan sampah, berserakan di lanskap dunia atau hanyut di laut, menjerat kehidupan laut atau dimakan, melukai, dan terkadang membunuh makhluk hidup. Meningkatnya kesadaran akan kerugian ini telah memicu pembatasan baru di seluruh dunia, terutama pada plastik sekali pakai.
Penggunaan plastik sekali pakai boleh saja telah dilarang di banyak negara, termasuk sejumlah daerah di Indonesia. Dilansir Bloomberg, Sabtu (10/7/2021), negara-negara Eropa menghabiskan sekitar US$700 juta atau Rp10,13 triliun setiap tahun untuk membuang plastik dari garis pantai benua itu. Semakin banyak perusahaan telah mengurangi plastik dalam kemasan produk, yang menyumbang sekitar 40 persen dari semua plastik.
Namun, sebuah studi tentang larangan kantong belanja plastik oleh pemerintah daerah di Amerika Serikat antara 2007 dan 2016 menemukan bahwa pembatasan itu tidak banyak mengurangi konsumsi plastik. Konsumen membeli lebih banyak plastik untuk pembuangan sampah sebagai ganti kantong belanja yang mereka gunakan.
Pada titik ini, kesadaran dan kemampuan masyarakat terlibat dalam upaya pengelolaan sampah plastik dengan daur ulang dan pemilahan, menjadi penting.
Ratih Anggraeni, Head of Climate and Stewardship Danone Indonesia mengatakan saat ini di Indonesia ada sekitar 6,7 ton sampah plastik setiap tahun. Konsumsi plastik per kapita Indonesia sebenarnya hanya sekitar 19 kilogram, terbilang kecil. Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 40 kilogrm, atau negara-negara Eropa dan AS yang melebihi 100 kilogram per kapita.
"Tetapi karena pengumpulan kita masih sangat rendah, hanya sekitar 30 persen yang akhirnya didaur ulang dan dibuang ke tempat pembuangan terkontrol, ini akibatnya 70 persen tidak terkelola yang akhirnya masuk ke laut," kata Ratih dalam paparan mengenai pengeloaan sampah dan ekonomi sirkular, belum lama ini.
Nelayan melintasi muara sungai yang tercemar sampah plastik di Pantai Satelit, Desa Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (19/4/2019). /ANTARA FOTO-Seno
Di Jakarta, lanjutnya, hanya sekitar 3 persen sampah dipilah untuk dibawa ke industri daur ulang. Sementara itu di Surabaya angkanya sedikit lebih tinggi yakni 13 persen.
Pada praktiknya, dorongan untuk mengurangi timbulan sampah plastik dengan daur ulang, terganjal peran serta masyarakat untuk memilah. Cindy Rianty, Wakil Kepala Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia mengatakan masyarakat Indonesia secara umum masih menganut pola pikir bahwa sampahku, bukan tanggung jawabku.
"Pokoknya, masalah sampah merupakan tanggung jawab orang lain, terutama pemerintah," ujarnya.
Untuk mengubah pola pikir itu, masyarakat perlu menyadari bahwa setiap manusia adalah penghasil sampah, dan karena isu ini sangat kompleks, solusinya perlu ditanggung oleh semua pihak. Dari kesadaran itulah dapat dibentuk pola pikir bahwa setiap sampah merupakan tanggung jawab individu yang menghasilkannya.
Sementara itu, pemilahan sampah untuk didaur ulang umumnya dapat disalurkan ke pemulung, bank sampah, tempat pengolahan sampah, dan sektor swasta.
Namun Cindy menekankan daur ulang merupakan prinsip terakhir dari upaya pengelolaan sampah 3R yakni reduce, reuse, dan recycle. Prioritas utama pengelolaan sampah adalah pada pencegahan yakni reduksi. Guna ulang atau reuse menjadi upaya selanjutnya, menyusul kemudian daur ulang atau recycle, pengolahan, dan pembuangan.
"Tetapi upaya daur ulang tetap lebih baik daripada membuangnya langsung ke lingkungan atau tempat sampah," kata Cindy.
Selain itu, dalam pengelolaan sampah ada lima aspek yang perlu keberimbangan peran di dalamnya, yakni teknik operasional, peraturan, peran serta masyarakat, kelembagaan, dan pembiayaan.
PELUANG EKONOMI
Sampah plastik dengan berbagai jenisnya, sebagaimana telah jamak diketahui, masih memiliki nilai ekonomi yang tinggi jika dikelola dengan baik. Namun, Ratih Anggraeni dari Danone mengatakan potensi itu terkikis karena sebagian besar sampah di Indonesia tercampur dengan bahan organik yang mencapai 55 hingga 75 persen dari total buangan.
"Sayangnya [sampah yang tidak bisa terurai] itu tidak terpilah dengan baik dan ketika sudah tercampur, tidak banyak yang bisa diselamatkan," lanjutnya.
Bank Dunia, dalam sebuah studi terbarunya menyatakan negara-negara Asia Tenggara kehilangan US$6 miliar per tahun karena sebagian besar plastik sekali pakai tidak didaur ulang.
Lebih dari 75 persen plastik yang dapat di daur ulang di Malaysia, Thailand, dan Filipina, terbuang begitu saja, padahal merupakan peluang bisnis signifikan yang belum dimanfaatkan.
"Ada peluang yang belum dimanfaatkan untuk menuai manfaat lingkungan dan ekonomi dengan intervensi yang jelas dan saling melengkapi dari sektor swasta dan publik," kata Ndiamé Diop, direktur negara Bank Dunia untuk Brunei, Malaysia, Filipina dan Thailand.
Pekerja mengemas biji plastik usai dijemur di salah satu industri pengolahan limbah plastik di Jakarta. /Bisnis-Arief Hermawan P
Menetapkan target konten daur ulang, mewajibkan standar desain untuk daur ulang, dan memberlakukan persyaratan pengumpulan limbah per industri dapat membuka nilai material tambahan untuk Asia Tenggara.
Bank Dunia menyoroti pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi pemilahan, membatasi pembuangan sampah plastik di tempat pembuangan sampah, dan menghapus barang-barang plastik yang tidak penting secara bertahap.
Membangun model bisnis untuk daur ulang plastik juga akan membantu mengalihkan limbah dari tempat pembuangan sampah, mengurangi risiko terbuang ke perairan.
Sebanyak 13 juta ton sampah plastik mengotori lautan dunia setiap tahun, dengan lebih dari 80 persen di antaranya berasal dari Asia.
Pada akhirnya, meski manusia membuang sampah setiap hari, apa yang dihasilkannya itu tidak akan hilang. Bahkan sampah-sampah itu dapat kembali pada tubuh manusia melalui air minum yang terkontaminasi partikel plastik.
Ancaman itu bukan isapan jempol karena para ilmuwan menemukan sebanyak 83 persen pasokan air minum dunia mengandung partikel plastik. Dengan demikian, bijak mengurangi dan mengelola sampah plastik adalah pilihan yang tak bisa ditawar.