Bisnis.com, JAKARTA — Psikolog dan Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Novi Poespita Chandra. Ph.D. mengatakan perempuan yang mendapatkan pendidikan layak di Indonesia masih minim. Jika dibandingkan dengan pria, jumlah wanita yang mengeyam cukup pendidikan masih berada di posisi bawah.
"Angka partisipasi perempuan di pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 30,85%," ujarnya secara virtual pada acara Konferensi Pers Inaugurasi Glow & Lovely Bintang Beasiswa 2021, Jumat (27/8/2021).
Novi menyebutkan 132 juta anak perempuan terpaksa tidak bersekolah atau drop out. Angka tersebut termasuk diantaranya 67,4 juta siswi sekolah menengah dan sederajat yang akhirnya tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Hal itu terjadi karena tantangan dan hambatan yang sejak lama sudah menjadi PR bangsa ini. Faktor-faktor tersebut ialah kemiskinan, kekerasan, kosistem sekolah yang buruk dan kondisi keluarga atau beban pekerjaan rumah.
Kemudian, pandemi menjadi faktor baru yang membuat kelayakan perempuan mendapatkan pendidikan jadi terhambat.
Selama pandemi, masalah psikologis banyak ditemukan pada kelompok usia 17-29 tahun.
Berdasarkan Survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (POSKI) 2020, pandemi membawa dampak 65% cemas, 62% depresi, dan 75% trauma.
Dan dari data tersebut menyatakan perempuan lebih tinggi karena cenderung lebih rentan merasa cemas dan khawatir selama pandemi. Hal itulah yang membuat pendidikan perempuan terganggu karena masalah kesehatan mental.
Padahy, menurut Novi terdapat hubungan kuat antara tingkat pendidikan perempuan dan level kesejahteraan suatu bangsa.
Semakin tinggi dan berkualitas pendidikannya maka level kesejahteraannya semakin baik.
Dengan kata lain, kualitas pendidikan yang disandingkan dengan kualitas kesehatan akan menghasilkan kualitas bangsa ke depan.
"Pendidikan yang memanusiakan harus dikedepankan guna mencapai keseimbangan mental dan kecerdasan emosi yang akan menjadi kekuatan utama manusia di masa depan," tutup Novi.