Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar istilah ‘baby selebgram’ atau selebgram anak? Soal potensi pendapatan dari promosi produk, ataukah masalah etika?
Instagram kini menjadi platform media sosial teraktif nomor empat setelah Youtube, Facebook, dan Whatsapp pada Januari 2018 berdasarkan survei data yang dikeluarkan We Are Social.
Ada lebih dari 53 juta pengguna aktif Instagram di Indonesia atau 20% dari jumlah penduduk. Laki-laki tercatat sebagai pengguna terbanyak, mencapai 51% dari total pemilik akun media sosial milik Facebook ini.
Banyaknya pengguna media sosial berbasis fotografi ini sejalan dengan barometer Google yang disajikan We Are Social, bahwa 44% aktivitas yang dilakukan dengan telepon seluler di Indonesia adalah mengambil foto dan video.
Bagi Anda yang tengah punya bayi atau balita, mayoritas foto atau video yang diambil tak jauh-jauh dari aktivitas buah hati. Daripada hanya memenuhi memory penyimpanan ponsel, mungkin Anda berpikir membaginya ke IG, istilah populer untuk Instagram.
Benar atau tidak asumsi itu, nyatanya kini makin banyak akun IG yang isinya aktivitas bayi dan balita. Bahkan, sebagian kini telah bertransformasi menjadi selebgram--selebritas Instagram.
Lebih jauh, aktivitas bayi dan anak-anak yang diunggah ke IG juga mendatangkan cuan. Ada yang sampai jutaan rupiah sekali unggah foto untuk promo produk.
Semakin lama, ‘profesi’ bayi, balita, atau anak-anak yang menjadi selebgram terus bertambuh, meskipun batas usia yang boleh membuat akun IG adalah 13 tahun.
Beberapa yang sudah terkenal di luar anak artis--yang begitu lahir langsung populer--antara lain Moonella Sunshine Jo, Olivia Manzano Reyes, dan Scarlet Snow Belo. Akun asli mareka pun sudah dikloning dan akun palsu itu ikut menikmati cuan sebagai endorser.
Namun, bagaimana sebenarnya persoalan selebgram ini dari kaca mata perlindungan anak? Mengingat, tak semua orang tua paham betul bahayanya anak sering diekspos ke media sosial.
Harus Ada Pengawasan
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda menyebut bahwa kita harus bersikap adil dan bijaksana tekait dengan aktivitas selebgram bayi dan anak.
“Artinya, tren ini tidak bisa semata-mata dinilai sebagai hal yang benar atau salah. Ini adalah masalah sosial. Artinya, pada kondisi dan saat tertentu, menjadikan anak sebagai selebgram sebenarnya tidak masalah sejauh ada pengawasan orang tua 100%,” kata Erlinda kepada Bisnis belum lama ini.
Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah sampai kapan batas toleransi atau ambang batas kita bisa memberikan keleluasaan kepada anak-anak untuk masuk ke dalam kategori selebgram.
Karena itu, menurut Erlinda, orang tua harus memastikan beberapa hal ketika sang buah hati jadi selebgram.
Pertama, orang tua harus memastikan tumbuh kembang anak tidak terganggu.
Anak pada usia 0-5 tahun membutuhkan waktu istirahat yang cukup, lingungan yang sehat, dan stimulasi dari orang tua. “Menjadi selebgram tidak masalah, sejauh kegiatan tersebut tidak mengganggu tumbuh kembang fisik dan psikis anak,” katanya.
Bahaya Predator Anak
Kedua, orang tua harus memproteksi anaknya dari kejahatan siber. Sebab, lanjutnya, predator-predator yang bersembunyi di dunia maya itu mayoritas membidik anak-anak di bawah 10 tahun, khususnya pada rentang usia 3—8 tahun.
“Nah, untuk itu orang tua harus memastikan apakah anak-anak sudah diproteksi atau tidak. Misalnya, saat menerima tawaran endorse, jangan sekali-kali memberi informasi detail soal alamat anak dan kegiatan anak.”
Selain itu, imbuh Erlinda, jangan mengumbar identitas dan update status kegiatan anak secara konstan di media sosial. Sebab, hal itu bisa dipantau dan ditelusuri oleh oknum-oknum predator.
Ketiga, orang tua harus memperhatikan apakah anaknya menikmati kegiatan sebagai selebgram atau tidak.
Orang tua harus sering berkomunikasi dengan anaknya; tanyakan apakah dia senang atau tidak tanpa mengurangi perlindungan pada anaknya.
Satu hal yang sangat penting, meskipun anaknya menjadi selebgram, orang tua harus memastikan buah hatinya bertumbuh dan berkembang di lingkungan yang seumurannya. Sebab, jika tidak, hal itu akan mengganggu psikologis dan kemampuan bersosialisasi dari anak.
Kalau hal-hal di atas bisa dilakukan dan dipenuhi oleh orang tua, tidak masalah menjadikan anak sebagai selebgram. Toh, kita harus bisa memaksimalkan potensi anak dan kesempatan yang ada. Kita harus bisa memanfaatkan teknologi informasi untuk hal yang positif.
“Untuk balita atau batita, seluruh koridor kegiatan selebgram sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua yang harus tahu kapan saatnya anak bisa diekspos, kapan tidak perlu diekspos,” katanya.
Haus Polpularitas
Menurutnya, pada saat orang tua terlalu mengeksploitasi anak dan terlalu mendorong anak sampai pada batasan yang berlebihan, anak akan terkontaminasi dengan hal-hal negatif. Misalnya, dia menjadi kelelahan atau justru menjadi pecandu medsos yang haus popularitas.
Jadi, yang harus dilakukan orang tua adalah melakukan edukasi sejak dini bahwa anaknya masuk ke dunia selebgram. Orang tua harus mengajarkan anaknya untuk bisa memproteksi diri sendiri juga dan selalu bersikap terbuka dengan ayah dan ibu saat ada permasalahan.
Erlinda juga mengkritik soal manfaat menjadikan anak sebagai selebgram. Pasalnya, 80% selebritas yang menjadikan anaknya sebagai selebgram merasakan manfaat kenaikan value karena kelucuan anaknya.
“Terus terang saja manfaatnya hanya menambah nilai keekonomian bagi orang tuanya saja.”
Namun ia tak menampik adanya manfaat pengembangan karier anak sejak dini jika akan terjun ke dunia hiburan.
Bisa Masuk Pidana
KPAI sendiri memberikan perlindungan dalam koridor edukasi, komunikasi, dan informasi. Jika ada pihak yang mengadukan eksploitasi anak, KPAI bisa memberikan advokasi dan melakukan pembinaan untuk orang tuanya.
“Kalau mereka membandel, kami bisa menguji coba dengan tindakan pidana dengan tudingan pelanggaran UU Perlindungan Anak.”
Proses hukum tersebut baru bisa dilakukan jika ada pengaduan. Sebab kasus eksploitasi anak ini adalah delik aduan, berbeda dengan kekerasan seksual yang bisa langsung ditindak tanpa harus ada yang melaporkan terlebih dulu.