Gadis berjilbab itu tidak kuasa menahan tangis. Orang tua bersama warga kampung mengantar kepergiannya menuju dermaga. Seorang diri dia menaiki perahu kecil dari tempat tinggalnya, Pulau Sapudi, Madura menuju Malang, Jawa Tengah.
Perjalanan yang ditempuh selama sebelas jam dan berganti bus sebanyak tiga kali, tidak membuat Rahmatillah patah semangat. Dia tinggalkan kampungnya demi meraih kesempatan beasiswa di SMAN 10 (Sampoerna Academy), Malang.
Sepenggal adegan dalam film dokumenter Mengejar Impian yang disutradarai Nia Dinata ini membuat hati cukup terenyuh. Tidak hanya Rahmatillah, tetapi ada empat remaja lain yang berjuang keras mendapatkan kesempatan melanjutkan SMA ke Sampoerna Academy. Mereka adalah Aang Kunaifi, Cahya Nur Aisah, Octika Adinda Putri, dan Praptaning Budi Utami.
Kelima remaja ini memiliki kesamaan, yakni cerdas dan berpretasi namun berasal dari keluarga kurang mampu. Rahmatillah berani mengarungi lautan selama sebelas jam seorang diri, Aang yang mahir melakukan story telling hidup berdua dengan sang ibu.
Selain itu, Cahya sebagai bungsu dari tujuh bersaudara membantu kakaknya mengolah sampah hasil memulung, Nuning tidak malu membantu ayahnya berjualan cilok, dan Tika yang berayah seorang satpam, jago memainkan gitar dan piano.
Mereka mempunyai mimpi yang sama, bersekolah di Sampoerna Academy, sekolah bertaraf internasional berasrama, melalui jalur beasiswa. Hal ini bukan perkara mudah karena mereka harus bersaing ketat dengan 3.015 pendaftar se-Indonesia. Aang, Cahya, Nuning, dan Tika dinyatakan lulus seleksi sementara Rahmatillah harus menelan pil pahit karena impiannya untuk melanjutkan pendidikan sirna.
Potret mereka terekam dengan natural di bawah arahan Nia. Proses pengambilan gambar berlangsung pada Juni-Agustus lalu di mana Nia bersama kru mengikuti keseharian kelima remaja ini. Profil Aang, Cahya, Nuning, Tika, dan Rahmatillah terpilih didokumentasi berdasarkan aplikasi beasiswa yang diajukan.
Melalui film dokumenter berdurasi 47 menit ini, kita melihat bagaimana pendidikan menjadi sesuatu yang sulit diperoleh. Kelima remaja tadi hanyalah segelintir dari 31 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pendekatan dokumenter sanggup menampilkan realita betapa sulitnya melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya. Keberadaan Putra Sampoerna Foundation dengan Sampoerna Academy-nya menjadi salah satu solusi. Namun, tentu tidak mudah untuk menjadi salah satu dari 150 penerima beasiswa.
Film dokumenter ini tidak hanya memaparkan realita perjuangan untuk melanjutkan sekolah, tetapi juga menjadi sarana promosi Putera Sampoerna Foundation.
Memang ada pesan sponsor di film ini berupa ajakan bagi siapapun yang terketuk hatinya untuk turut berkontribusi melalui yayasan. Katanya demi membangun lebih banyak Sampoerna Academy sehingga semakin banyak anak kurang mampu bisa meneruskan pendidikannya. (swi)