Show

Perempuan & pernikahan

Renat Sofie Andriani
Sabtu, 11 Desember 2010 - 10:43
Bagikan

Sebagian masyarakat Indonesia berpandangan bahwa usia 30 tahuan bagi perempuan yang belum menikah adalah sebuah pertaruhan. Inilah masa yang menentukan untuk berkeluarga atau tidak.

Ada perempuan yang membantah hal itu, ada juga yang mengatakan tau ah gelap dan sederet komentar lainnya. Pada sisi lain, ada yang mengatakan bahwa menurut tradisi usia 20 tahun-30 tahun adalah waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan.

Bagi perempuan Barat, apalah artinya atau makna menikah? Hanya selembar kertas catatan. Bagaimana dengan perempuan Indonesia? Tiga perempuan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yaitu Dian Ariyani, Elia Nurvista, dan Gintani Nur Apresia Swastika yang tergabung dalam Kelompok Simponi bicara seputar persoalan pernikahan lewat karya seni.

Dalam pameran bertema Married by Accident di MD Art Space sampai 14 Desember 2010, mereka memajang gambar berupa digital print, sulaman di atas kain sutra dan patung yang bercerita tentang pernikahan.Pernikahan itu sesuatu yang sakral dan pilihan personal, kata Elia Nurvista.

Ada sejumlah piring yang disusun sedemikian rupa dan bertuliskan ucapan selamat dari kerabat untuk pengantin. Ada juga potret prosesi pernikahan dimana terlihat pengantin perempuan sedang sungkem pada orangtua, sepasang pengantin sedang minum (relief aluminum plat), patung sepasang pengantin berwarna kuning emas yang terbuat dari fiber.

Pada karya lain terlihat gambar pengantin perempuan di atas sutra, gambar pengantin ala Mesir Kuno yang merupakan digital print dengan tambahan sulaman dan sejumlah patung dari kayu dan fiber yang diber judul Mahar. Harga karya-karya itu berkisar Rp 20 juta.

Mereka menyiapkan pameran ini sejak tahun 2009. Pameran ini berlangsung selama empat belas hari dan berlangsung di MD Art Space, Galeri Mon Dcor, kata pengelola MD Art Space Monica Gunawan.

Generasi masa kini

Kelompok Simponi dengan jitu menampilkan refleksi tentang bagaimana pernikahan diberi makna pada generasi perempuan masa kini. Seluruh anggota kelompok ini berada dalam rentang usia antara pertengahan 20-an dan belum mencapai 30-an.

Rentang usia yang sekarang mulai dipenuhi dengan banyak pertanyaan dan dering lonceng biologis. Ini adalah sebuah pameran yang mendasarkan diri pada cerita-cerita sederhana yang dijumput dari kehidupan sehari-hari dalam lingkup pergaulan yang paling dekat dengan mereka, kata kurator Alia Swastika.

Apa yang digarap oleh ketiga perupa ini menjadi isu dan kegelisahan personal tentang perkawinan. Isu yang dekat dengan kaum perempuan muda ini terasa rileks dan reflektif. Para perupa ini tidak punya pretensi untuk marah kepada kaum laki-laki atau pada keseluruhan sistem sosial yang membuat perkawinan menjadi seperti penjara emas.

Dengan cara tertentu karya-karya mereka lebih berbicara untuk membagi ketakutan dan kegelisahan, dan menampilkan cara pandang yang segar tentang lembaga pernikahan. Mereka punya harapan bahwa dengan dialektika yang seimbang antara perempuan dan laki-laki, maka ada kemungkinan perkawinan menjadi sebuah lembaga yang lebih adil bagi masing-masing individu.

Para perupa ini menggunakan teknik-teknik yang sering dianggap domestik dan terlalu craft menjadi bagian yang penting, sesuatu yang sesungguhnya sejak awal banyak dikerjakan oleh Simponi, yaitu sulam, kruistik, dan jahit tangan.

Mereka membuat teknik ini beranjak melampaui perannya sebagai teknik, serta membuatnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gagasan karya yang diwujudkan dengan hiasan elemen-elemen sulam di sekitarnya. Inilah karya kreatif. (swi)

Editor : Mursito
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro