Bisnis.com, JAKARTA - Siapa sangka, perceraian orang tua berdampak besar bagi perkembangan psikologis dan karakter anak. Bahkan bisa merubah kelainan seks seseorang. Percaya?
Witrin Gamayanti, Psikolog dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung, pernah memilki pasien korban perceraian. Pada 1990, dia sempat menangangi kasus perceraian sebuah keluarga yang disebabkan oleh perselingkuhan suami.
Sang istri sakit hati dan tidak terima dengan apa yang dilakukan suami. Sang istri meminta cerai. Kondisi keluarga tersebut pun lambat laun mulai berubah. Sementara itu, anak gadis, yang saat itu masih duduk di bangku SMA menjadi korban pertama perceraian orang tua.
“Dia [sang anak] menjadi tidak suka dan tidak percaya lagi terhadap lelaki. Saya kaget ketika dia jujur menyatakan bahwa dia seorang lesbi,” ujarnya.
Witrin menuturkan sedikitnya ada dua jenis dampak perceraian terhadap anak yaitu yang berjangka pendek dan panjang. Hal tersebut bisa dilihat tergantung kasus perceraian itu sendiri.
Jika dampak jangka pendek, biasanya anak, sebagai korban disebabkan oleh perceraian orang tua yang dilakukan dengan cara baik-baik. Sementara itu, dampak panjang yang membekas pada anak disebabkan oleh kasus perceraian yang buruk.
“Kasus gadis lesbi tadi salah satunya contoh dampak perceraian orang tua yang buruk. Anak terlanjur shock dan tidak menerima kenyataan yang ada. Bahkan sampai saat ini orientasi seksnya tidak berubah,” ungkapanya.
Contoh lain, sambungnya dampak perceraian orang tua bisa menyebabkan mental dan emosi anak terganggu. Tak sedikit anak yang berkarakter aneh dari biasanya. Dia menjelaskan anak yang tadinya pendiam berubah jadi pemarah, bahkan bisa jadi brutal. Pergaulan yang tidak terkontrol mendorong pola pikir negatif dipilih anak.
“Kecenderungan anak korban perceraian memilih bergaul dengan teman-teman kurang baik, yang akhirnya memilih mabuk-mabukan atau berprilaku di luar kebiasaan,” katanya.
Efnie Indrianie, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung mengatakan sebagai korban perceraian, anak harus dibangkitkan kembali melalui memori kasih sayang orang tua. Apa pun yang terjadi, orang tua harus bisa memikirkan jalan keluar bagi anak . “Kalau bisa sampaikan kepada anak bahwa perpisahan orang tua tidak akan mengurangi rasa cinta kepada mereka [anak],” katanya.
Dia menjelaskan anak korban perceraian di bawah usia 12 tahun mesti benar-benar dijauhkan dari konflik berkenpanjangan orang tua. Usia tersebut merupakan fase pembentukan karakter hidup seseorang. Sementara bagi anak korban perceraian di atas usia 12 tahun, sebisa mungkin para orang tua memberikan pendampingan lebih kepada anak.
“Yang perlu dilakukan masing-masing orang tua adalah memperlakukan anak sebagai teman. Ajak mereka bicara baik-baik dan berusahalah ikuti keinginan mereka, karena jika tidak dilakukan, masa remaja seperti mereka sangat rawan,” ujarnya.
Menurut Efnie, pasangan yang sudah bercerai setidaknya bisa menyisihkan waktu khusus untuk anak, di mana kedua pasangan mesti rela memaksakan diri berada dalam satu waktu. “Minimal dua minggu sekali kedua orang tua duduk bersama membicarakan masa depan anak.”
Witrin menambahkan ada beberapa hal yang mesti diperhatikan orang tua jika hendak melakukan perceraian. Menurutnya, ada baiknya kedua orang tua jauh-jauh hari berbicara atau melakukan komunikasi kepada anak bahwa kondisi rumah tangga mereka tidak akan berjalan mulus. Hal itu penting bagi anak agar tidak mengalami stress dan trauma di kemudian hari.
“Meskipun perceraian itu tidak dianjurkan, tapi jika memang sebuah solusi dalam menyelesaikan masalah hubungan rumah tangga, [perceraian] bisa saja dilakukan. Dan kalau bisa jangan membawa anak dalam konflik perceraian tersebut,” ujarnya.