Bisnis.com, JAKARTA - Foto Lord Baden Powell itu terpajang berjejer dengan foto-foto keluarga di ruang pertemuan kediaman Ismail Sofyan di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Wajah Powell tampak gagah menyiratkan ketegasan sang tokoh sebagai bapak pandu dunia.
Ternyata, foto itu diambil dari lukisan karyanya yang dibuat pada 1948 silam. Dia ingin mengabadikan lukisannya dalam bentuk foto. “Lukisan aslinya ada di galeri saya,” paparnya.
Saat melukis Powell, Ismail Sofyan berusia 17 tahun. Tetapi dia sudah mengguakan cat minyak yang saat itu hanya terbiasa digunakan pelukis kawakan. Ismail membubuhkan warna untuk aksesori baju yang dikenakan Powell. Lukisan itu tercipta dari inspirasi ketika dia melihat sebuah majalah terbitan Belanda.
Ismail Sofyan memang sudah mencintai seni lukis sejak remaja. President PT Metropolitan Development ini mengaku bakat melukis yang dimilikinya merupakan sebuah kelebihan yang diberikan oleh sang Maha Kuasa. “Saya bersyukur kepada Tuhan atas diberikan bakat seni. Ini merupakan sebuah anugerah,” ujarnya.
Ismail lahir di Aceh 83 tahun silam, tetapi dia besar di Medan. Dia ingat betul perjalanan kehidupan keluarganya mengalami pahit manis sejak zaman pendudukan penjajahan. Sedari umur 13 tahun, dia sudah gemar melukis. Kegemaran itu membuat orangtuanya was-was lantaran profesi pelukis dianggap belum menjanjikan.
Setelah beranjak dewasa, dia bertekad untuk berjuang mencari sebuah kesuksesan. Ismail melanjutkan kuliah dan memilih jurusan Teknik Arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia menganggap jurusan arsitektur yang dipilih masih berkaitan dengan dunia seni. “Bedanya, kalau pelukis bisa menggambar rumah di atas awan, arsitek lebih terikat pada realita yang ada, dia tidak bisa membuat rumah di awan,” ujarnya sambil terkekeh,
Sejak mengenyam bangku kuliah, Ismail berhenti melukis dan lebih berkonsentrasi merajut masa depannya. Meskipun, kecintaannya pada lukisan tidak pernah luntur. Bersama dua sahabatnya, Ciputra (Tjie Tjin Hoan) dan Budi Brasali, dia mendirikan biro arsitektur PT Daya Cipta selepas lulus kuliah di sebuah garasi di kawasan Bandung, yakni pada 1957.
Ismail mengisahkan ketika memiliki sedikit uang, dia membeli sebuah lukisan yang dia sukai, meskipun bukan karya seorang maestro. Sejak saat itulah hingga sekarang, Ismail rajin membeli lukisan yang menurut dia bagus.
Ismail masih ingat betul ketika lukisan karya Affandi belum tergolong sebagai karya berharga mahal. Setiap pameran lukisan Affandi digelar, katanya, dulu jarang sekali pengunjung yang datang. Bingkainya pun, ungkap ismail, kebanyakan menggunakan bambu. “Beda dengan sekarang, lukisan Affandi banyak diburu dan mahal. Tahu begitu, dulu saya beli banyak,” ungkapnya tersenyum.
Pria gemar olahraga ini punya penilaian tersendiri akan sebuah lukisan. Dia membeli lukisan menurut yang dia suka. Meskipun sesekali dia melihat dulu siapa pelukisnya. Ketika lukisan dibeli, Ismail mencoba untuk merawat dan tidak pernah menjualnya. “Koleksi lukisan saya semakin bertambah karena tidak ada yang pernah dilepas,” ungkap penggemar karya lukisan Affandi, Basuki Abdullah, Srihadi dan Sunaryo ini.
Sebagai seorang kolektor senior, Ismail ternyata juga tidak pernah khawatir akan terjebak membeli lukisan ‘bodong’, alias versi KW dari pelukis maestro. Menurutnya, tiap pelukis maestro memiliki karakter sapuan kuas yang begitu khas, sehingga kolektor yang matanya jeli pasti bisa membedakan siapa pemiliki lukisan tersebut.
Dia pun tentu saja memahami bahwa merawat koleksi lukisan yang harganya bisa mencapai miliaran rupiah atau jutaan dollar, tidak bisa sembarangan. Di galeri pribadinya, Ismail memepercayai orang khusus untuk mengatur suhu, kelembapan, maupun faktor-faktor lain yang bisa merusak kualitas karya seni. Sayang, dia tidak menyebut secara jelas berapa jumlah lukisan yang ada.
Selain mengoleksi, tentu saja sesekali Ismail menggoreskan kuasnya. Di galeri pribadinya, tampak sejumlah lukisan dari cat minyak dan cat air tersimpan rapi. Terkadang, Ismail melukis secara on the spot ketika berkunjung ke suatu tempat. Inspirasi lain ketika dia melukis datang saat dia baca dan melihat peristiwa yang terjadi di Indonesia.
Dia mengaku pernah ada seseorang dari India yang menawar salah satu lukisan karyanya ketika dipajang pada sebuah pameran. Namun, dia enggan menjual lukisannya lantaran hanya untuk koleksi pribadi. “Sampai si orang India itu marah-marah, ‘kenapa dipajang kalau tidak dijual’,” paparnya mengenang.