Show

Butet Kartaredjasa: Kritik Lewat Seni Adalah Investasi

Deliana Pradhita Sari
Rabu, 19 Februari 2014 - 06:15
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Terlahir pada 1961 di mana dia hidup pada zaman penghabisan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat Butet Kartaredjasa tumbuh dengan teman-teman korban pembantaian. Dia berteman dengan orang-orang yang ibunya diperkosa atau kakaknya dibunuh. Hal seperti ini yang membuatnya mulai berpikir mengapa dan kenapa? Pemikiran kritis dimulai sejak dia duduk di bangku Sekolah Dasar. Rasa keingintahuannya yang besar yang dia amati di Yogyakarta dibawanya ke Jakarta.

Kini Butet dikenal dengan sosok pengkritis yang mengemas kritikannya dengan kocak, berotak dan full jenaka lewat aksi seni teater. Dia mengkritik hampir semua aspek dalam kehidupan yang dia amati dan rasakan di lapangan baik kondisi ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya.

Baginya, kritikian lewat seni cukup berbeda dengan kritikan yang dilontarkan oleh demonstran di jalanan, surat pembaca atau kritikan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

“Kritik melalui seni adalah investasi, kita tidak memetik hasilnya selama 1 atau 2 hari, tapi melalui proses yang panjang dan bertahap. Hari ini saya mengkritik lewat aksi teater, mungkin 5 atau 10 tahun ke depan baru akan terlihat hasilnya,” katanya kepada Bisnis.

Jadi keefektivitasannya tidak dirasakan secara instan, tambahnya, pihak yang mengukur keefektivitasan kritik lewat seni adalah pihak-pihak dengan cara berpikir pragmatis.

Butet tidak melawan pihak mana pun melalui aksi kritiknya baik di panggung teater, acara televisi Sentilan Sentilun atau di buku karangaanya Presiden Guyonan. Hal yang selama bertahun-tahun dia lakukan didasari oleh cinta dan kejujuran.

“Saya tidak punya musuh. Pemerintah, pemimpin dan rakyat adalah sahabat saya, pokoknya siapa saja yang punya kuping. Karena saya cinta mereka makanya saya mengkritik mereka dengan bahasa yang berbeda. Dalam demokrasi, kritik itu penting sebagai alat kontrol publik, jika tidak ada kritikan negara kita akan jadi negara tyran yang keblabasan dan menjadi busuk,” ungkapnya.

Dia mengemas kritikannya dengan bahasa yang dia sebut sebagai Guyon Parikeno atau mencubit tanpa membuat sakit pihak yang dicubit. Seringkali ketika dia melontarkan kritikannya, pihak terkritik malah tertawa.

Meskipun sudah dikemas sedemikian rupa, Butet mengaku kerap dan sering sekali mendapat ancaman dari sosok yang tidak dikenal. Dia sering mendapat pesan singkat berisi terror terhadap nyawanya, ingin membunuhnya, memaki-maki istrinya hingga mencegat dan mengancam di jalan. Lagipula ada juga beberapa pihak yang berusaha menyumbat aliran sumber pendapatan dengan berbagai cara.

“Saya tidak tertarik dan tidak punya rasa ingin tahu untuk mencari pihak-pihak tersebut. Hingga saat ini rejeki tetap lancar-lancar saja, lhawong pihak yang disumbat belum tentu mau disumbat oleh para penyumbat, “ kata lelaki yang punya slogan Urip Mung Mampir Ngguyu (Hidup Hanya Untuk Mampir Tertawa) ini.

Malah kini tak hanya dengan aksi teater, pentas monolog dan komedi kritik saja, dia melebarkan sayapnya hingga ke film dan pertunjukan berseri dalam menuangkan pemikiran kritis, aktif dan kreatifnya. Dia tidak akan berhenti sampai kapapun karena kritik akan tetap dibutuhkan dari sejak zaman Plato hingga kapanpun.

“Sah-sah saja bagi pemain teater yang juga merambah ke seni peran film atau sinetron, itu bukan hal yang tabu. Namun daya seleksi atau filter juga harus dimainkan, tidak sembarangan menerima tawaran. Jangan pilih film atau sinetron yang membodohi masyarakat. Daya seleksi inilah yang akan membedakan manusia budaya dengan manusia industri,” jelasnya.

Editor : News Editor
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro