Bisnis.com, JAKARTA- Sebuah cerpen berjudul Ode untuk Selembar KTP, karangan sastrawan Martin Aleida membuat saya terperangah.
Martin dengan apik menceritakan sosok Iramani, seorang ibu yang dijebloskan ke penjara tanpa proses persidangan. Iramani dituduh berkomplot dengan sang suami yang juga seorang berbahaya di rezim Orde Baru.
Ode untuk Selembar KTP merupakan satu dari 13 cerpen yang termuat dalam antologi Mati Baik-Baik, Kawan. Cerpen ini pernah diterbitkan di sebuah surat kabar dengan judul Ode untuk Sebuah KTP pada 2002.
Iramani, dalam cerpen ini sangat terpukul dan sedih merasakan kenyataan. Apalagi dia masih memiliki anak kecil yang harus disusui. Namun, selama 13 tahun dalam kurungan penjara, dia harus pasrah menerima keadaan.
Hidup Iramani mendadak bahagia setelah keluar dari penjara. Dia rela menjual tanah untuk menyogok pekerja kelurahan agar menghilangkan tanda ET, Eks Tapol dalam selembar KTP. Dengan mendapatkan KTP baru, Iramani berharap akan terbebas dari masa lalu yang suram.
Cetakan pertama antologi ini diterbitkan pada 2009 oleh penerbit Akar. Buku ini memuat cerpen yang berasal dari kisah nyata. Martin Aleida merekonstruksi peristiwa khususnya yang berkaitan pascaprahara 1965.
Konsistensi Martin dalam menulis cerpen memang menjadi ciri khas. Dia disebut sebagai sastrawan kesaksian. Predikat itu disematkan lantaran karya-karyanya terus menyuarakan peristiwa yang dialami dirinya maupun pengalaman orang lain.
Tentu saja, peristiwa 1965 merupakan kisah yang menarik dia tulis sekaligus menjadi titik bagaimana Martin menyuarakan kaum tertindas.
Coba simak cerpen berjudul Leontin Dewangga. Kisah cinta Abdullah Peureulak dan Dewangga sebagai pasangan yang dipertemukan dalam peristiwa 1965.
Kisah ini cukup dramatis ketika Abdullah baru mengakui bahwa dirinya bukanlah orang baik seperti yang dia bayangkan semasa pacaran. Abdullah adalah seorang eks tahanan politik gara-gara aktif dan terlibat dalam sebuah partai yang dicap terlarang.
Gaya bertutur Martin dalam buku cerpen ini sangat mudah dipahami. Dia menulis tidak terlalu banyak kutipan sebagaimana sering dijumpai pada cerpen biasanya. Martin lebih memilih menulis deskriptif dengan narasi yang lincah dan pilihan kata sederhana.
Uniknya, judul buku Mati Baik-Baik, Kawan ini bukanlah diambil dari salah satu judul cerpen.
Namun dia ambil dari kalimat terakhir cerpen Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh. Cerpen yang mengisahkan tentang kesetiaan dua binatang kera dan anjing terhadap tuannya Mangku. Sang kera mati ditikam anjing-anjing lainnya dalam sebuah malam yang membuat Mangku bersedih.
Pada cetakan pertama buku ini, Martin hanya memuat sembilan cerpen. Namun, menurut pengakuan Martin, banyaknya permintaan agar buku cetakan kedua untuk segera diterbitkan, Martin menambah empat cerpen baru.
Pembaca juga akan menikmati ulasan-ulasan dari para penulis macam Arswendo Atmowiloto, Damhuri Muhammad hingga Katrin Bandel yang menelisik lebih jauh dari berbagai sudut berbeda atas cerpen Martin.
Pada cetakan kedua ini, para pembaca akan kembali menemukan kisah-kisah segar yang dia tulis antara lain Tiada Darah di Lamaera, Tanpa Pelayat dan Mawar Duka serta satu cerpen yang wajib dibaca, Dendang Perempuan Pendendam.