Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa hari lalu, saya membaca koran yang memberitakan tentang pengusikan terhadap siswi yang masih duduk di sekolah dasar (SD) di Bukittinggi, Sumatra Barat. Pemberitaan itu mencuat setelah muncul video di Youtube yang diunggah pada September.
Video itu menggambarkan seorang anak perempuan berdiri terpojok, karena teman-temannya secara bergantian memukulinya. Penasaran, saya pun sempat menanyai Fisya Alifia Fawwazi Siregar, seorang siswi SD yang berlokasi di Depok, Jawa Barat, tentang keributan yang terjadi di lingkungan sekolah dasar secara umum.
Masalah pengusikan psikologis hingga fisik, atau populer disebut dengan bullying, ternyata tak hanya terjadi pada remaja saja.
Fisya mengatakan sejumlah temannya memang ada yang berkelahi gara-gara permainan tertentu. ”Kalau anak perempuan bacot-bacotan , tapi kalau laki-laki sampai ada yang berdarah,” katanya.
Terkait dengan hal tersebut, psikolog klinis Oriza Sativa mengatakan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak harus ditinjau dari berbagai faktor karena perilaku anak terbentuk dari pelbagai faktor pula. Di antaranya adalah beban tugas sekolah, simulasi permainan pada gadget dan perilaku sosial yang lebih individualistis, sehingga lebih permisif.
TAK MENYALAHKAN
Oriza menuturkan yang dikhawatirkan juga adalah permainan yang memunculkan efek kekerasan dengan detail, misalnya darah yang mengucur. Hal itu, katanya, menyebabkan anak-anak terpacu ketika lawannya belum tewas sehingga diserang habis-habisan.
”Hal ini sangat memengaruhi psikis si anak untuk meniru, karena dari pengamatan akan tertanam ke alam bawah sadarnya,” kata Oriza.
Dia menuturkan permainan pada generasi sebelumnya adalah permainan lebih mengedepankan bagaimana bermain berkelompok. Hal tersebut, papar Oriza, dapat mengajarkan bagaimana cara berteman dan bagaimana menjaga kekompakan tim.
Menurutnya, anak itu seperti selembar kertas putih sehingga masa tersebut adalah masa yang paling mudah untuk menyerap dan meniru bagaimana perilaku orang lain. Oriza mengungkapkan orang tua yang stres dan sering marah-marah di rumah pun, akan membawa anak pada kondisi yang serupa.
”Peran guru juga sangat berpengaruh. Bukan menyalahkan, banyak sekolah-sekolah yang pengawasannya kendor. Baik negeri maupun swasta. Ini membutuhkan penanganan yang komprehensif antara anak, orang tua, guru dan lingkungan,” jelasnya.
Dia menuturkan guru di sekolah bukan hanya mengajarkan pelajaran saja, melainkan juga menjadi orang tua pengganti saat di sekolah. Pendidikan akhlak tentu harus berbarengan dengan kegiatan belajar mengajar.
Abdul Waidl, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, mengatakan anak-anak adalah pencontoh yang baik atas apa yang terjadi di keluarga dan lingkungan sekitarnya, termasuk lingkungan pendidikan.
Di dalam dunia pendidikan, katanya, anak-anak juga kerap menerima kekerasan, seperti halnya beban mata pelajaran yang harus dikerjakan di dalam kelas dan dilanjutkan di rumah.
”Mereka sedikit memiliki waktu bermain sebagai anak-anak. Mereka jenuh dan stres. Ditambah dengan tontonan kekerasan yang berubah menjadi tuntunan, maka memukul dan menendang kepada teman menjadi bagian dari pelampiasan, kata Abdul, dalam keterangan resminya.