Biasanya dokter bedah plastik pun menghindar karena pasien BDD merasa cemas terus dan tidak pernah merasa selesai operasi. /Bisnis.com
Relationship

BEDAH PLASTIK: Indikasi Gangguan Jiwa?

Ana Noviani
Jumat, 31 Oktober 2014 - 15:48
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah acara televisi asal Korea Selatan berjudul Let Me In menampilkan kaum hawa yang tidak puas dengan penampilan fisiknya. Mereka berharap dapat terpilih untuk menjalani serangkaian perawatan dan operasi gratis agar tampak lebih cantik.

Kebanyakan calon kontestan mengalami maloklusi— atau ketidaksesuaian—rahang bawah, mata sangat sipit, tidak memiliki lipatan pada kelopak mata, dan kelebihan berat badan. Usianya, mulai dari remaja hingga ibu muda.

Sebelum mengikuti reality show tersebut, tak sedikit calon kontestan yang hidup dalam depresi  yang sering meluapkan kemarahan, menutup diri dari interaksi sosial, bahkan terpuruk dalam dunia pekerjaan. Acara yang didukung oleh belasan ahli bedah plastik negara itu sangat populer sampai memasuki musim keempat pada tahun ini.

Di Tanah Air, operasi plastik sempat dipandang sebagai hal yang negatif. Orang-orang—terutama tokoh terkenal, yang menjalani operasi plastik sempat berkelit untuk menghindari hujatan dari masyarakat.  Namun, perilaku operasi plastik berulang kali untuk mendapatkan gambaran citra diri yang sempurna perlu diwaspadai.

Dalam bahasa psikiatri, orang-orang yang sangat tersiksa dan selalu merasa tidak puas terhadap penampilan mereka sendiri disebut mengalami gangguan citra tubuh atau body dysmorphic disorder (BDD).

Dokter spesialis kesehatan jiwa dari RS Omni Alam Sutra, Tangerang, Andri Suryadi mengatakan tidak semua orang yang melakukan operasi plastik didiagnosis mengalami BDD.

"BDD itu adalah pikiran yang terus menerus tentang ketidaksempurnaan bentuk tubuh, yang paling banyak di daerah wajah, dan mulai melakukan proses pembetulan secara berulang melalui bedah plastik estetika," ujar Andri.

Gangguan kejiwaan tersebut, imbuhnya, berawal dari konsep berpikir yang menimbulkan obsessive thought. Pengidap BDD juga diduga mengalami gangguan sistem saraf dan serotonin di otak.

Sinyal yang harus diwaspadai adalah ketika orang yang melakukan operasi bedah plastik lebih dari dua kali, terus menerus menyimpan keinginan untuk mengulang prosedur sejenis.  "Terlalu sering operasi, bisa jadi orang mengalami disintegritas diri, merasa imaji yang tampil di cermin bukanlah dirinya.”

Rentannya pelaku operasi plastik mengidap BDD membuat Andri menyarankan agar praktek dokter bedah plastik harus disinergikan dengan konsultasi psikiater.

Senada dengan Andri, dokter spesialis Kesehatan Jiwa dari RS Mitra Keluarga Danardi Sosrosumihardjo menuturkan BDD bisa diderita oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan saat bertugas di RSCM, cukup banyak pasien BDD yang merupakan kaum adam.

Ketidakpuasan itu biasanya sangat detail, misalnya cuping hidung yang tidak seimbang, alis mata kiri yang tidak simetris, daun telinga yang agak miring, dan mata kanan yang agak turun.

"Tubuh kita ini terkadang ada yang tidak simetris. Nah, penderita BDD ini kalau pun sudah dioperasi, tetap saja merasa bentuk fisiknya tidak sesuai dengan yang diinginkan," katanya. Penanganan pasien dengan diagnosis BDD adalah dengan konseling dan pemberian obat antidepresan.

"Biasanya dokter bedah plastik pun menghindar karena pasien BDD merasa cemas terus dan tidak pernah merasa selesai operasi," imbuh Danardi. (Ana Noviani & Atiqa Hanum)

Penulis : Ana Noviani
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Minggu (2/11/2014)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro