Bisnis.com, SINGAPURA – Anda masih memiliki mimpi yang belum terwujud? Mungkin ini saat yang tepat untuk melihat kembali apa yang sejatinya Anda ingin capai dan menjadikan mimpi Anda menjadi nyata. Bahkan ketika mimpi itu terbentuk sejak puluhan tahun lalu.
Yuthlert Sippapak, sutradara asal Thailand, misalnya butuh 15 tahun untuk menghidupkan tokoh-tokoh dalam “Chiang Khan Story”. Naskah film drama ini ditulis Yuthlert sejak 15 tahun lalu. Dia pernah berupaya menawarkan naskah ini ke sejumlah produser di Thailand dan berakhir dengan penolakan.
“Membuat film drama dianggap tidak menguntungkan. Jenis film ini tidak akan menghasilkan uang. Jadi tidak ada yang tertarik,” ujar Yuthlert, dalam diskusi seusai pemutaran film “Chiang Khan Story” di MasterCard Theatres, Marina Bay Sands, Singapura, Rabu malam (10/12/2014).
Pemutaran film ini merupakan bagian dari segmen presentasi spesial dalam Singapore International Film Festival. Selain “Chiang Khan Story”, segmen ini juga menghadirkan “The Crossing”, film garapan John Wu yang telah diputar pada 4 Desember 2014.
Kita tahu bahwa mimpi Yuthlert tak pernah benar-benar mati. Kendati telah menghasilkan sejumlah film, “Chiang Khan Story” tetap menanti untuk dihidupkan. Yuthlert kembali menawarkan cerita ini dan berhasil. “Chiang Khan Story” dirilis di Thailand pada Agustus 2014. Di film ini kita bisa melihat wajah Chiang Khan, kota kecil di provinsi Loei, sekitar 10 jam perjalanan darat dari Bangkok. Latar waktu yang dipilih adalah era 70-an hingga 90-an.
Film ini mengisahkan tentang anak laki-laki bernama Tookkae, diperankan oleh Kao Jirayu La-ongmanee yang miskin dan menaruh hati pada gadis Pang, dibintangi oleh Chontida Asavahame.
Besar hanya dengan nenek tanpa mengenal ayah dan ibunya, Tookkae kerap menjadi bulan-bulanan teman sepermainan. Sebaliknya, Pang berasal dari keluarga berada. Nenek Tookkae bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Pang.
Tookkae dan Pang telah menaruh kecintaan terhadap film, dimulai dari kegemaran membantu pembuat poster film hingga menyaksikan film dari ruang proyektor di biskop kecil. Tookkae kecil bertekad membuat film dan Pang bermimpi menjadi aktris. Keduanya akhirnya terpisah saat keluarga Pang pindah ke Bangkok. Jalan hidup kemudian mempertemukan keduanya, yang sudah dewasa, dan setia pada mimpi masa kecil.
Yuthlert pandai memainkan emosi penonton. Anda misalnya dapat menangis sekaligus tertawa pada waktu yang bersamaan. Yuthlert mengatakan ini adalah film pertamanya yang menurutnya bernuansa positif. “Di sini saya belajar bahwa berbuat baik akan mengembalikan hal baik itu ke kita. Apapun itu,” ujarnya.
Keberhasilan “Chiang Khan Story” juga berkat kepiawaian Chontida Asavahame berlakon. Meski baru pertama kali tampil pada produksi film panjang, Chontida terlihat sangat alami. “Saya banyak dibantu oleh Yuthlert. Sebagai sutradara, dia tidak banyak mendikte. Sebaliknya, dia membebaskan kami menghidupkan tokoh dengan cara kami sendiri,” ujar Chontida.
Kendati menampik bahwa Chiang Khan adalah kisahnya sendiri –Yuthlert besar di provinsi Loei, sangat menyukai film sama seperti Tookkae, dan jatuh bangun mewujudkan mimpi menjadi sutradara- Yuthlert menyebutkan bahwa kisah ini sangat personal. “Saya membangun ceritanya dari pengalaman saat kecil.”
Yuthlert sebelumnya telah menyutradari sejumlah film, termasuk “Killer Tattoo” pada 2001 tentang pembunuh yang mengincar kematian polisi senior dan film horor“Buppah Rahtree” pada 2003. Keduanya juga lekat dengan unsur komedi.
Sebelum memutuskan menjadi sutradara, Yuthlert adalah desainer interior. Lulusan desain interior ini bahkan sempat mendirikan perusahaan penyedia rancangan interior. Dia kemudian melanjutkan studi ke New York, Amerika Serikat, dan kembali ke Thailand untuk bergiat di dunia film. “Yang saya tahu, saya hanya ingin membuat film. Saya mencintai film. Dan saya yakin, saya dapat membuat film dengan kualitas yang lebih baik dari film-film yang sudah ada.”
Kita tahu, sinergi antara keuletan dan kemampuan akhirnya membawa Yuthlert menjangkau mimpinya. (Bisnis.com)