Bisnis.com, JAKARTA – Teater Koma kembali mementaskan naskah bernuansa oriental dalam produksinya ke-139 yang berjudul Opera Ular Putih yang akan dipentaskan hingga 19 April mendatang. Naskah hasil adaptasi legenda China berjudul Oh Peh Coa yang pernah dipentaskan pada 1994 ini kembali hadir di panggung dengan nuansa yang berbeda.
Perbedaan tersebut antara lain terletak pada titik tekan cerita, musik, hingga para pemain. Jika dulu peran Ular Putih dan Ular Hijau dimainkan oleh pemain senior Sari Madjid dan Rita Matu Mona, maka kini kedua peran tersebut dimainkan oleh Tuti Hartati dan Andhini Putri Lestari.
Penulis naskah sekaligus sutradara Nano Riantiarno mengungkapkan meski terpaut 21 tahun sejak pertama kali dipentaskan, lakon ini tetap bisa mewakili perkembangan zaman yang ada. Jika dulu konteks cerita lebih menyoroti kekuasaan, maka kini penekanan cerita lebih pada persoalan psikologis.
“Pertanyaan yang diajukan tetap relevan, yaitu masih sanggupkah kita membedakan siapa manusia dan siapa siluman?” ujarnya.
Premis utama cerita mengajak penonton untuk berpikir lebih dari sekedar hitam dan putih, kebajikan lawan kejahatan. Dalam lakon ini, para pemeran rata-rata menyuguhkan karakter yang kompleks dengan perjalanan batinnya masing-masing.
Alkisah, kakak beradik siluman ular putih dan hijau yang telah bertapa selama ribuan tahun ingin berubah wujud menjadi manusia. Meski awalnya Ular Hijau menentang, tetapi akhirnya keduanya berhasil turun ke bumi dan menjelma sebagai manusia yang bernama Tinio dan Siocing.
Singkat cerita, dengan bantuan Siocing, Tinio pun menikah dengan pria bernama Kohanbun, yang merupakan reinkarnasi dari petani yang dulu pernah menolongnya dalam kehidupan sebelumnya. Sayangnya, kedamaian mereka terusik oleh kehadiran peramal bernama Gowi, yang memberitahu Kohanbun bahwa istri dan adik iparnya adalah siluman ular jahat yang mengelabuinya.
Perjalanan hidup Siocing dan Tinio dalam lakon tersebut mengalami berbagai macam konflik. Penonton diajak menyaksikan lakon berdurasi tiga jam ini dengan berbagai pertarungan sengit antara kedua siluman ular dengan para peramal dan dewa-dewi.Adanya berbagai macam pertarungan tersebut membuat jalannya pertunjukan menjadi segar. Keluwesan gerak para pemain, yang berpadu dengan visualisasi artistik yang megah dan berwarna-warni karya Taufan S. Chandranegara selaku penata skenografi dan pencahayaan.
Nuansa oriental yang kental terwujud di atas panggung melalui properti yang menggambarkan zaman Dinasti T’ang. Selain itu, permainan musik klasik China yang dikomposisi oleh Idrus Madani dan diaransemen oleh Fero Aldiansya Stefanus turut membangun suasana.
Perbedaannya, musik pada lakon ini lebih klasik, dengan hadirnya permainan alat musik petik seperti guzheng dan alat musik gesek erhu. Hal ini berbeda dengan musik lakon adaptasi China sebelumnya Sie Jien Kwi yang terasa sedikit lebih kontemporer.
Hal lain yang tak kalah menarik adalah kostum yang memadukan unsur klasik oriental dengan batik yang dirancang oleh Rima Ananda Oemar. Karyanya memperlihatkan percampuran budaya Tiongkok dengan motif batik khas Sidomukti, Megamendung, hingga Lereng.
Uniknya, beberapa pemain memerankan dua karakter sekaligus. Misalnya, pemeran watak Budi Ros memerankan dalang sekaligus Raja Dewa Wufu, dua buah karakter yang jauh berbeda, baik dari segi bahasa tubuh, ekspresi dan intonasi vokal. Meski demikian, kemampuannya menjaga konsistensi akting bagi masing-masing karakter sungguh patut menuai pujian.