Bisnis.com, JAKARTA- Kawasan Kota Tua yang menjadi pusat perdagangan di Asia sejak abad ke-16, hingga kini terus berbenah. Berbagai upaya pelestarian dan revitalisasi sejumlah bangunan bersejarah terus dilakukan, termasuk menjadikannya sebagai pusat kebudayaan.
Berawal dari kegelisahan sejumlah pihak atas kondisi bangunan bersejarah di Kota Tua yang kerap dirusak demi sebuah karya seni, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggandeng Institut Kesenian Jakarta untuk bersamasama melestarikan warisan sejarah.
Dengan pencanangan sebagai pusat kebudayaan berbasis komunitas seni di Kota Tua Jakarta, Rabu (29/4/2015), diharapkan nilai-nilai sejarah yang melekat kuat tetap bisa terjaga.
Tiga gedung Tjipta Niaga di Jalan Malaka 7-9 Roa Malaka Jakarta Barat, dipilih menjadi pusat pendidikan dan komunitas seni di Kota Tua Jakarta, sebagai tempat berkreasi komunitas musik, teater, dan film yang akan dioperasikan oleh para mahasiswa IKJ. Meski begitu, tidak hanya mahasiswa IKJ yang dapat memanfaatkan gedung sebagai wadah berkreasi. Masyarakat luas juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkannya.
Direktur Utama PT Jakarta Old Town Revitalization Corporation Lin Che Wei mengungkapkan selama ini, banyak yang tidak peduli terhadap bangunan yang ada di kawasan ini dalam proses produksi film dengan latar belakang bangunan kota tua.
“Sering kali orang membuat film tanpa memperhatikan heritage. Supaya gambarnya bagus saja. Kadang-kadang pintu yang berusia 200 tahun dicat, tembok yang sudah puluhan tahun dirusak. Saya ingin agar komunitas ini menjadi komunitas yang sadar terhadap pelestarian budaya. Bukan hanya membuat film yang bagus,” katanya.
Bangunan dua lantai dengan luas 2000 meter persegi ini dipilih karena kondisinya yang bebas dari pedagang kaki lima, sehingga memudahkan pengembangan gedung menjadi pusat komunitas.
Apalagi, sebagai tempat pertunjukan film, musik, dan teater, bangunan ini berada di lokasi dengan lahan parkir yang memadai.
Gedung yang dibangun pada 1920-an ini juga dinilai memiliki akses yang mudah bagi masyarakat. Ini sesuai dengan keinginan Pemprov DKI Jakarta agar pusat komunitas seni mudah dijangkau masyarakat.
“Secara historis kalau dari lihat dari depan juga bagus,” katanya.
Dalam hitung-hitungannya, pusat komunitas seni ini dapat beroperasi dalam jangka waktu tiga bulan, karena selama tiga bulan itu akan digunakan untuk merenovasi bangunan di beberapa bagian.
Namun, dengan catatan komponen sewa dari Pemprov DKI segera turun. “Untuk komponen sewa selama 20 tahun antara Rp16-Rp20 miliar. Juga untuk renovasi dan infrastruktur,” jelasnya.
Dengan demikian, selama 20 tahun itu bisa menciptakan pusat komunitas yang stabil, sehingga dapat menghidupkan Kota Tua dan menjadi magnet bagi seniman dalam menghasilkan karya seni.
Jika masa sewa ditentukan dalam waktu singkat, Lin Che Wei khawatir gedung ini dapat berubah menjadi pertokoan setelah ramai dikunjungi masyarakat. “Seringkali seniman biasa dipakai untuk menghidupkan suatu daerah. Setelah tempat itu ramai, seniman ini baru ditendang,” lanjutnya.
Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN) Shelvy Arifin mengatakan gedung sebagai pusat komunitas seni memang menjadi kebutuhan bagi dunia seni, khususnya film. PFN sendiri akan membangun pusat film di daerah Otista Jakarta.