Warga Baduy Dalam tengah melintas di Baduy Luar/JibiFoto-Sukirno
Travel

Suku Baduy Dalam Kokoh Pegang Amanah Leluhur Sunda Wiwitan

Sukirno
Sabtu, 9 Mei 2015 - 06:28
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Sinar matahari kian redup dan berganti gulita. Pendar cahaya bulan menjadi penerang utama saat Bisnis.com bertemu dengan Jaro Dusun Cibeo. Jaro adalah sebutan bagi wakil pu’un atau kepala dusun.

Pria yang mengaku tak ingat lagi nama lahirnya itu lebih sering dipanggil Ayah Sami atau Jaro Sami, mengacu pada anak sulungnya. Sudah lazim bagi warga Baduy menggunakan panggilan nama anak pertama mereka.

Perbincangan yang dilakukan di beranda rumahnya itu hanya diterangi oleh cahaya lampu minyak buatan sendiri. Tak ada aliran listrik ke kampung mereka yang berjarak sekitar 40 Kilometer dari Rangkasbitung, Lebak, Banten.

Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik adalah tiga dusun di Desa Kanekes yang terisolir dan dihuni oleh masyarakat adat Baduy Dalam. Sedangkan, masyarakat Baduy Luar, tersebar di Desa Kanekes mengelilingi wilayah Baduy Dalam. 

Mengawali kisah Suku Baduy Dalam, Jaro Sami menguraikan pakaian yang mereka kenakan sehari-hari. Baju berwarna putih, kain sarung hitam, dan ikat kepala putih menjadi pakaian keseharian mereka.

Sesekali, saat melakukan perjalanan ke Baduy Luar, atau ke luar Baduy, baju putih mereka berganti menjadi pakaian berwarna hitam.

"Pakaian hitam dan putih itu amanah dari nenek moyang, itu wajib. Kami harus taat pada aturan, begitu juga dengan rumah dan perabotan juga harus sama," ujarnya dengan bahasa dialek Sunda-Banten.

Bagi masyarakat Baduy Dalam yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, amanah leluhur adalah segala-galanya. Bila tak menaati, mereka akan terkena sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam.

Sebenarnya, masyarakat Baduy lebih menyukai menyebut mereka sebagai Urang Kanekes atau Orang Kanekes seperti nama desa yang mereka huni. Sebutan Baduy diberikan oleh penduduk luar kepada mereka yang berawal dari peneliti Belanda karena disamakan dengan kelompok Arab Badawi dengan kehidupan nomaden.

Memang, diakui Jaro Sami, bahwa 140 kepala keluarga di Kampung Cibeo selalu tinggal secara berpindah-pindah. Terakhir kali bedol desa, dilakukan 18 tahun silam dengan memindahkan 97 rumah masyarkat Cibeo akibat kebakaran hebat kala itu.

Rumah tempat mereka tinggal direkatkan tanpa paku dan semen. Suku Baduy Dalam hanya menggunakan kayu, bambu, ijuk, dan daun pohon aren yang diikat menggunakan tali untuk mendirikan rumah.

Setiap rumah hanya diperbolehkan menghadap utara dan selatan. Tak ada perbedaan bentuk rumah, maupun perabotan yang digunakan setiap keluarga Baduy Dalam.

Sulit membedakan strata sosial ataupun tingkat kekayaan warga Baduy Dalam. Pembeda kaya dan miskin bagi mereka hanya dapat dilihat dari jumlah Leuit atau lumbung padi yang diletakkan cukup jauh dari wilayah perkampungan.

Leuit menjadi tempat menyimpan hasil pertanian warga Baduy Dalam. Setiap orang yang telah menikah, wajib hukumnya menggarap lahan pertanian tanpa hak kepemilikan atas tanah.

Kebun lahan pertanian yang mereka garap adalah milik adat. Urang Kanekes hanya diperbolehkan menggarap sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan pertimbangan kelestarian alam.

Keluarga Baduy Dalam lebih sering menetap di dangau sembari menunggu lahan pertanian mereka. Anak-anak mereka tidak boleh bersekolah formal dan hanya diharuskan belajar dari alam sambil turut orang tua ke ladang.

Meski tak mengenyam pendidikan formal, anak-anak Baduy Dalam mendapatkan pelajaran secara turun-temurun khususnya terhadap adat istiadat warisan nenek moyang.

Saat tumbuh dewasa, anak-anak Baduy yang telah berusia 18-20 tahun akan dinikahkan. Orang tua akan menjodohkan anak-anaknya dengan sesama warga Baduy Dalam untuk menghidari sanksi diasingkan secara adat.

"Yang menikahkan itu Pu'un, proses sejak lamaran sampai pesta pernikahan bisa sampai 1 tahun. Setelah menikah, mereka tidak boleh bercerai, yang ingin cerai bisa terkena sanksi adat diasingkan ke Baduy Luar," katanya.

Suku Baduy Dalam, akan menjadi warga Baduy Luar secara otomatis apabila mereka menikah dengan warga Baduy Luar. Tidak hanya itu, mereka juga akan menjadi warga Baduy Luar jika secara sukarela ingin keluar dari Baduy Dalam.

Jaro Sami yang berusia 53 tahun dan menjabat sebagai Jaro sejak 20 tahun silam ini mengakui, aturan-aturan adat bagi warga Baduy Dalam sulit dipahami oleh masyarakat luar. Tetapi, aturan warisan nenek moyang tersebut harus dilestarikan agar Baduy tak hilang ditelan zaman.

Hingga saat ini, orang Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan, alas kaki, alat elektronik, teknologi, sekolah formal, hingga tidak diperbolehkan mandi memakai sabun dan bahan kimia lainnya.

Bersama Pu'un, Jaro dan Tetua adat secara rutin menceritakan aturan, larangan, sanksi adat budaya Baduy Dalam kepada generasi penerus mereka. Bahkan, mereka juga mengisahkan silsilah nenek moyang secara turun-temurun bersama seluruh warga Baduy Dalam dalam kesempatan tertentu.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes adalah keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Dikutip dari buku karya Adimihardja (2000), pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.

Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Padjadjaran atau di sekitar Bogor sekarang. Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.

Saat itu, Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Penguasa wilayah tersebut, Pangeran Pucuk Umum, menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.

Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus itu tampaknya menjadi cikal bakal masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng.

Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Padjadjaran.

Akan tetapi, terdapat versi lain dari sejarah Suku Baduy. Dimulai ketika Kian Santang putra Prabu Siliwangi pulang dari Saudi Arabia setelah memeluk Islam di tangan Sayyidina Ali.

Sang putra ingin mengislamkan Sang Prabu beserta para pengikutnya. Pada akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima Sang Prabu, mereka keberatan masuk Islam, dan menyebar ke penjuru Sunda untuk tetap dalam keyakinannya.

Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah Lebak (Baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu, Sang Prabu di daerah Baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Di Baduy dalamlah Prabu Siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga mangkat tepatnya di Cikeusik, Baduy Dalam, Desa Kanekes.

Penulis : Sukirno
Editor : Setyardi Widodo
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro