Dituding Pendaki Ilegal (11)
Sampai di Pos Bremi, kami diminta masuk ke ruangan. Di ruangan itu tampak Susiono sedang duduk dan beberapa orang tim SAR. Kami kemudian diminta menceritakan kronologis kedatangan. Kami menceritakan semuanya dengan detail, tetapi kami berbohong tentang izin masuk.
Reaksi mereka di luar dugaan saya. Terlebih Susiono. Kami diperlakukan seperti penjahat yang masuk tanpa izin.
Susiono kemudian mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak bertanggung jawab atas keselamatan kami, karena kami pendaki illegal. Padahal Susiono tahu kalau kami sudah membayar karcis masuk dan kami sempat bertemu di pagi sebelum mendaki.
Saya dan rekan saya memutuskan hanya diam diperlakukan demikian. Yang saya pikirkan waktu itu hanyalah bagaimana ini cepat selesai dan kami bisa segera pulang.
Beruntung, rekan kantor Bisnis Indonesia di Biro Malang datang menjemput kami, saat mereka tahu kalau kami wartawan, Susiono berhenti ‘mengoceh’ dan kami diizinkan pulang. Beruntungnya juga, kami masih menyimpan kuitansi pembayaran dan foto di basecamp sebelum berangkat.
Keesokan hari, berita soal hilangnya kami ramai di beberapa media massa. Berita-berita yang penuh kesimpangsiuran. Beberapa media bahkan salah menuliskan nama saya. Kabar kalau kami adalah pendaki ilegal pun masuk koran.
Padahal, fakta yang terjadi adalah sebaliknya. Membacanya kami hanya bisa tertawa. Kami jadi paham rasanya terbius oleh manipulasi petugas yang kemudian diwartakan para pekerja media.
Meskipun akhir perjalanan ini terasa menjengkelkan, tetapi bagi saya pelajaran ada di setiap incinya. Seperti kata si pendaki pertama Gunung Himalaya, Sir Edmund Hillary, “It’s not the mountain we conquer but our selves.”