Bisnis.com, JAKARTA - Bayi yang lahir dengan kelainan otak dan ukuran kepala di bawah normal akibat virus Zika di Brasil, juga menderita kerusakan parah pada bagian mata dan telinga.
Demikian dikatakan sejumlah dokter, Kamis (28/1/2016). Setengah dari 135 bayi yang diperiksa di pusat rehabilitasi kota Recife, Brasil, mempunyai kemampuan indera penglihatan yang terbatas akibat kerusakan saraf optik dan retina, kata dokter mata Camila Ventura.
Selain itu, sebagian di antara bayi-bayi tersebut juga menderita juling.
"Mata mereka sulit digunakan untuk melihat. Sebanyak 40 sampai 50 persen dari mereka menderita cacat mata yang serius," kata Ventura.
Bayi-bayi yang berada di pusat rehabilitasi itu adalah sebagian kecil dari 3.700 kasus virus Zika di Brasil.
Brasil belum pernah mengalami lonjakan kasus tersebut. Para ilmuwan bahkan belum bisa membuktikan dengan jelas bahwa virus Zika merupakan penyebabnya.
Namun, demikian, kondisi itu akan menghambat pertumbuhan anak yang akan sulit belajar akibat kerusakan sebagian fungsi motorik.
Para dokter di pusat rehabilitasi Recife saat ini sedang menguji lebih jauh kemampuan mata dan telinga bayi untuk mengetahui apa yang bisa mereka lihat dan dengar, sebelum memberi terapi yang diharapkan bisa menstimulasi otak.
Daniele Ferreira Santos,29, mengatakan bahwa anaknya yang baru berumur dua bulan bisa mendengar, namun kesulitan melihat.
"Saya sangat sedih. Kami tidak tahu seberapa buruk kondisinya dan apakah akan ada masalah lain di masa depan," kata ibu tersebut sambil mencoba menenangkan bayinya yang tengah menangis.
Ventura mengatakan, bahwa para bayi yang terinfeksi harus menjalani terapi sepanjang tiga bulan sejak lahir. Jika tidak, maka kemampuan indra penglihatan mereka tidak akan meningkat.
Dalam sebuah surat yang dipublikasikan oleh jurnal kesehatan The Lancet, Ventura dan timnya memperingatkan adanya masalah penglihatan yang diderita bayi di Brasil yang kebetulan juga terkena mikrosefali.
Virus Zika menyebar melalui gigitan nyamuk kepada ibu dengan kehamilan usia muda.
Pada Kamis (28/1/2016), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, bahwa virus tersebut menyebar dengan cepat dan menginfeksi sekitar empat juta orang di Amerika Latin.