Bisnis.com, JAKARTA - Apa penyebab kematian paling tinggi dalam dunia kesehatan di masa depan? Penyakit jantung atau diabetes? Bukan, jawabannya adalah resistensi antimikroba.
Di Indonesia, angka kematian akibat kondisi ini diperkirakan mencapai 135.000 orang. Sementara itu, pada 2050 diprediksi 10 juta orang akan meninggal akibat resisten antimikroba. Adapun 4,6 juta di antaranya bakal terjadi di Asia.
Apa yang menyebabkan resisten antimikroba menjadi ancaman serius? Harry Parathon, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan, memberikan penjelasannya.
Dokter spesialis kandungan ini menuturkan resisten antimikroba disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan dosis yang tepat. “Dalam kondisi resisten antimikroba, antibiotik tidak lagi bisa membunuh bakteri atau kuman penyebab penyakit sehingga menyebabkan kematian,” katanya.
Harus diakui, penggunaan antibiotik di Indonesia sangat bebas. Masyarakat bisa dengan mudah mendapatkannya di apotek atau kios tertentu tanpa resep dokter. Padahal, antibiotik adalah obat keras yang seharusnya tidak di jual bebas. Resep dokter adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan obat jenis ini.
Beberapa jenis kesalahaan dalam penggunaan antibiotik di masyarakat antara lain dengan tidak menghabiskan obat tersebut dalam satu kali siklus pengobatan. Selain itu, masyarakat juga sering mengonsumsi antibiotik meskipun sebenarnya tidak diperlukan.
Harry menjelaskan sebenarnya tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Obat jenis ini hanya semata-mata digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh kuman dan bakteri.
Sementara itu, untuk penyakit yang disebabkan oleh virus sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Flu dan radang tenggorokan adalah jenis-jenis penyakit yang tidak memerlukan antibiotik.
Lantas bagaimana cara paling mudah untuk menentukan penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri atau bukan? Harry menuturkan biasanya penyakit karena bakteri akan diikuti oleh demam. Namun, tentu tidak semua demam harus diobati dengan antibiotik. Beberapa demam justru terjadi karena kekurangan atau kelebihan sel darah putih.
Dalam dunia kedokteran, antibiotik sebenarnya memiliki peran sangat besar. Antibiotik pada dasarnya adalah segolongan molekul yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi dan jamur yang mempunyai fungsi menekan atau menghentikan proses biokimia dalam tubuh terutama infeksi. Obat jenis ini juga termasuk langka. Pasalnya, sejak 1987 tidak ada penemuan baru kelas antibiotik.
Guna menanggulangi resisten antimikroba, beberapa hal ini perlu dilakukan. Pertama, jangan sembarangan mengonsumsi antibiotik dan harus sesuai dengan resep dokter.
Kedua, jangan membeli antibiotik berdasarkan resep sebelumnya. Jika masih tersisa antibiotik, sebaiknya jangan digunakan.
Ketiga, saat berobat ke dokter sebaiknya tanyakan obat mana yang mengandung antibiotik. Pasien juga harus menanyakan dosis dan cara minumnya. “Salah penggunaan antibiotik menyebabkan tidak efektif karena kuman bisa kebal,” katanya.
Selain itu, habiskan obat sesuai anjuran. Pemberhentian antibiotik yang tidak sesuai waktu akan membuat bakteri bertahan hidup dan menyebabkan infeksi berulang.
Di Indonesia, peresepan antibiotik banyak dilakukan pada penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) seperti infeksi telinga, sinusitis, radang tenggorokan, dan faringitis. Namun, biasanya dokter akan menunda peresepan antibiotik pada pasien anak.
Di sisi lain, tidak semua penyakit akibat bakteri harus diberikan antibiotik karena akan sembuh sendiri. ISPA non spesifik dengan gejala klini seperti sinus, faring, dan saluran pernafasan biasanya disebabkan oleh virus sehingga penggunaan antibiotik tidak direkomendasikan.
Selain itu, banyak kasus faringitis yang bisa sembuh sendiri sehingga tidak memerlukan antibiotik.
Nah, dengan ancaman resisten antimikroba yang kian nyata sudah saatnya kita lebih berhat-hati dalam mengonsumsi obat-obatan. Singkatnya, jangan pernah mengonsumsi antibiotik tanpa dosis yang tepat dari dokter.