Dr Debryna salah satu relawan dalam pandemi virus corona /instagram
Relationship

Cerita dr Debryna, Kartini Dunia Medis Kala 'Perangi' Covid-19

Mia Chitra Dinisari
Rabu, 22 April 2020 - 08:56
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -  Tak lama lagi, dokter perempuan muda ini akan kembali berjibaku di garda depan penanganan virus corona di Wisma Atlet sebagai salah satu rujukan RS khusus penanganan covid-19. 

Ini merupakan kali kedua bagi dr Debryna Dewi Lumanauw, sang Kartini di bidang medis berperang melawan virus corona dengan merawat dan mengobati pasien-pasien yang telah terinfeksi.

Tepatnya 12 hari lalu, dia baru saja menyelesaikan masa 14 hari berdinas di tahap awal tugas perdananya. Setelah itu, dia harus menjalani masa karantina selama 14 hari, sebelum bisa kembali bertugas.

Alih-alih menyelesaikan tugas pada tahap pertamanya padahal dia bisa, dr Debry justru memutuskan kembali ke medan perang. Berhadapan lagi dengan musuh yang tak kasat mata itu.

Alasannya pun simple, karena dia merasa masih bisa membantu dan masih dibutuhkan.

Keberaniannya patut dipuji, dedikasinya sebagai dokter tak diragukan. Mungkin, ini juga spirit yang dimiliki para dokter relawan lainnya. Bukan hanya itu, dia juga terlihat sangat enjoy menjalankan tugasnya. Tak ada wajah lesu, tak ada air mata ketika mengisahkan momen pengabdiannya itu.

dr Debry memang kerap membagikan momen kesehariannya yang justru membuat orang yang melihatnya menjadi ikut semangat dan sedikit luntur akan ketakutan virus tersebut.Selalu senyum dan tawa yang saya lihat di postingan linimasa media sosialnya, meskipun tubuh dan wajah bersimbah keringat usai melepas Alat Pelindung Diri (APD) yang menjadi satu-satunya tameng dalam menghindari penularan.

dr Debry bercerita pada Bisnis awal mula dia bergabung menjadi relawan yaitu dengan mendaftar atas inisiatif dirinya sendiri dan mulai bekerja pada 26 Maret 2020 lalu.

Menurutnya, tak ada alasan bagi dirinya sebagai seorang dokter untuk tidak  ikut berkontribusi dalam pandemi ini.

"Hampir gak ada alasan kenapa saya ikutan. Saya, dan saya yakin teman-teman sejawat juga, merasa memang sudah kewajiban kami untuk terlibat. Ini, dari kaca mata saya, seperti perang. Musuhnya tidak kelihatan tapi di depan mata. Kami sebagai medis hanya melakukan apa yang sudah seharusnya kami lakukan, saving lives," ujarnya ketika ditanya alasan dia mau ikut bergabung jadi relawan.

Menurutnya, banyak pengalaman yang didapatnya selama menangani pasien dengan virus corona ini selama dua pekan lalu. Sebagai seorang dokter, dia bukan hanya menerapkan treatment secara medis tapi juga bersifat biopsikososial. Dalam artian, selain obat-obatan atau treatment medis yang diberikan, harus juga diimbangi dengan dukungan psikis dan sosial.

Cerita dr Debryna, Kartini Dunia Medis Kala 'Perangi' Covid-19

dr Debryna usai melepas APD

Sedangkan untuk treatment medis di Indonesia, menurutnya spesifik di Indonesia pada rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 

Dia juga menegaskan pasien harus optimis, tetap positive thinking dan bersyukur, karena pada dasarnya rasa syukur membuat orang bahagia dan bisa mempercepat penyembuhan dan pemulihan.

Sebaliknya, saat seseorang dalam tingkat stress atau kecemasan yang tinggi, beberapa hormon akan keluar seperti kortisol. Hormon ini bahkan ada namanya, kita sebut “the stress hormone”. Peningkatan kortisol yang kronik jangka waktu lama dapat menurunkan imunitas tubuh. Demikian penjelasan singkat dokter umum lulusan FK Maranatha itu.

Di luar kegiatannya merawat pasien, hal penting juga bagi dokter, dan tenaga medis lainnya untuk menjaga keseimbangan hidupnya agar tetap sehat. Dia bercerita, selama menjalankan tugas aktivitasnya normal saja seperti biasanya. "Kami sebenernya manusia biasa aja. Kegiatan kami ya normal-normal aja kok. Tidur, pasti. Makan cukup. Ngobrol sama teman-teman relawan. Nonton netflix. Dan kalau saya pribadi akan selalu menyempatkan waktu untuk olahraga," tuturnya.

Untuk menghilangkan kebosanan dan stres dia dan rekan sejawatnya sering menyempatkan waktu untuk ngobrol apapun topiknya selain covid-19. Terutama soal makanan atau masakan, apalagi, dia adalah orang yang hobi makan.

Selain itu, sebagai pecinta olahraga dia juga rutin olahraga, untuk menghindati stres secara mental. Alasannya, ketika lelah fisik seakan dirinya tak lagi punya energi untuk stres. Motivasi olahraganya juga cukup besar. Diapun membuat kettelbell buatan dari botol air kemasan yang dikumpulkan untuk pemberat.

Tapi, meski terlihat santai, rasa waswas masih juga dimilikinya, manusiawi lah. Karena menurutnya, tim medis bertugas dalam serba ketidaktahuan. Mengungat penyakit ini baru muncul 5 bulan lalu. Belum diketahui bagaimana pemeriksaan diagnostiknya, terapinya dan apapun mengenai virus ini. Satu-satunya hal yang terlihat paling ‘instan’ yang dapat  dilakukan adalah dengan menekan kurva penyebaran virus.

Untuk meningkatkan kewaspadaan, dia terbiasa menganggap virus itu ada dimana-mana sehingga kesadaran menjaga diri setiap saat selalu terjaga. Salah satunya, dengan memakai APD dengan benar, dan sikap saat memakai APD. 

Karena menurunya kelengkapan APD itu memang 1 hal yang penting, tapi sikap kita saat memakai APD adalah 1 hal yang berbeda dan tidak kalah penting. Contoh, pakai masker tapi tetap pegang-pegang bagian depan masker, itu sama saja bohong.

Selain ketakutan dari diri sendiri, dr Debry juga menceritakan kekhawatiran dari keluarganya yang sangat tinggi. Meskipun sebelumnya dia juga terbiasa bertugas di tempat-tempat bencana, tsunami, gempa, bangunan runtuh. 

"Mereka sudah agak terbiasa kalau saya ijin untuk dinas ke sana. Biasanya akan diprotes tapi nego nya lebih cepet.  Kemarin waktu saya ijin untuk turun menangani covid, wah nego nya alot," tuturnya sambil tertawa.

Tapi akhirnya restu diberikan setelah dirinya menunjukkan penelitian yang mengatakan dirinya termasuk dalam kategori yang aman (berdasarkan demografis), hingga janji telepon tiap hari.

Cerita dr Debryna, Kartini Dunia Medis Kala 'Perangi' Covid-19

Satu pesan dr Debry yang saya amini adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya social distancing untuk memutus mata rantai penularan. Padahal, kampanye untuk social distancing sudah digalakkan, namun memang beberapa dari masyarakat kita masih kurang diyakinkan kalau penyebaran virus ini dampaknya besar. Bukan hanya bidang kesehatan, namun juga ekonomi dan sektor lainnya.

Banyak penelitian juga sudah mengungkapkan, menekan kurva itu kuncinya di social distancing. Bukan vitamin/suplemen, bukan jemur di bawah matahari dan olahraga semata. 

"Gak mudah rasanya menjadi “defense” tanpa mengetahui apakah “the real attack plan” dijalankan atau tidak oleh masyarakat di luar," urainya.

Terutama, menurutnya kurangnya kesadaran dari anak-anak muda karena merasa bahwa dirinya punya imuntas tinggi sehingga sulit tertular. Padahal, pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang membunuh. Penularan virus ini tidak pandang bulu ke siapapun. 

"Mungkin mereka yang memang masih muda dan tidak ada gejala tidak akan berdampak kematian, tapi kalau mereka menularkan virus ini ke orang tua mereka, you might kill them," tutupnya.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro