Bisnis.com, JAKARTA - Sejak remaja, Elisabeth Sianturi yang kini sudah berusia 57 tahun, sering mengalami gangguan keseimbangan. Wanita itu sering tiba-tiba terjatuh tanpa sebab.
Saat itu, dia belum merasakan ada hal serius yang terjadi dalam tubuhnya. Hingga suatu kali sepulang dari liburan, dia terjatuh dan mengalami stroke ringan. Barulah pada usia 50-an, dokter memvonisnya menderita sklerosis multipel (multiple sclerosis/disseminated sclerosis/encephalomyelitis disseminata).
Meskipun memiliki gejala yang mirip, multipel sklerosis memang tidak sepopuler penyakit lain seperti stroke. Pada dasarnya, penyakit ini termasuk langka.
Menurut Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Riwanti Estiasari, multipel sklerosis menyerang saraf pusat yang menyebabkan sejumlah fungsi tubuh tidak bisa bekerja dengan baik sampai akhirnya secara perlahan tidak berfungsi lagi.
Riwanti menjelaskan multipel sklerosis biasanya menyerang usia produktif yaitu 15 tahun-50 tahun. Pada umumnya, perempuan lebih rentan dibandingkan dengan pria.
Gejala awal penyakit ini pun sangat sederhana, mulai dari kesemutan, gangguan penglihatan, nyeri, hingga gangguan koordinasi lainnya. Jika semakin parah, multipel sklerosis bisa menyebabkan kelumpuhan.
“Pada banyak kasus, biasanya penderita multipel sklerosis mengalami kelumpuhan tiba-tiba lalu sembuh sendiri. Lumpuh lagi kemudian sembuh, begitu seterusnya,” katanya.
Permasalahannya, penyakit ini kurang dipahami oleh masyarakat, bahkan di kalangan tenaga medis. Selain itu, belum ada obat yang mampu mengurangi penyakit multipel sklerosis secara total. Dokter biasanya hanya memberikan terapi untuk mengobati gejala-gejala yang ditimbulkan.
Adapun, sistem kerja multipel sklerosis akan merusak lapisan selubung saraf atau yang biasa disebut myelin. Selubung ini berfungsi sebagai pelindung sehingga ketika rusak, sinyal listrik yang dikirim otak akan terganggu. Akibatnya, fungsi tubuh yang terkena dampak akan melemah.
Dengan gejala-gejalanya yang umum, tidak heran jika multipel sklerosis seringkali luput dari diagnosis dokter. Penyakit ini biasanya diduga sebagai stroke atau kanker otak yang merusak saraf. Selain itu, sampai saat ini juga belum bisa diketahui apa yang dapat memicu seseorang terserang penyakit tersebut.
TAHAPAN PEMERIKSAAN
Sebelum melakukan diagnosis, dokter biasanya akan menggunakan MRI untuk melihat gambaran kerusakan otak. Namun, tidak semua penderita multipel sklerosis memunculkan gambaran khas di otak saat dilakukan pemeriksaan.
Metode lainnya adalah dengan pengambilan cairan otak di punggung. Riwanti menuturkan pemeriksaan multipel sklerosis memang harus dilakukan dalam beberapa tahapan, sehingga membutuhkan waktu lama.
Selain itu, beberapa pemeriksaan otak juga belum bisa dilakukan di Indonesia sehingga harus dikirim ke luar negeri. Dia menjelaskan ada tiga tipe multipel sklerosis.
Pertama, relapsing remitting multiple sclerosis. Pada jenis ini, gejala-gejala multipel sklerosis biasanya terjadi tak terduga dalam kurun waktu bervariasi. Penderitanya bisa saja terlihat seha dalam waktu berbulan-bulan atau tahunan.
Kedua, secondary progressive multiple sclerosis. Pada fase ini penderita akan mengalami kekambuhan gejala secara berkesinambungan dan terus menerus. Akibatnya, fungsi anggota tubuh bisa menurun drastis.
Ketiga, primary progressive multiple sclerosis. Multipel sklerosis jenis ini ditandai dengan tidak adanya serangan yang parah, tetapi ada serangan-serangan kecil dengan gejala yang terus memburuk.
Ketua Yayasan Multiple Sclerosis Indonesia Kanya Puspokusumo mengatakan serangan multipel sklerosis sangat bervariasi dan tidak terduga. Kanya yang juga menderita penyakit tersebut menuturkan bisa saja saat ini dirinya masih merasa sehat, tetapi gejala multipel sklerosis muncul lima detik kemudian.
“Jadi memang benar-benar tidak bisa diprediksi,” katanya.
Di Indonesia, penyakit multipel sklerosis memang masih jarang terjadi. Adapun, di seluruh dunia, data dari Asosiasi Multiple Scelorosis Amerika menyatakan setidaknya 1 juta orang menderita multipel sklerosis.
Selain itu, terdapat sekitar 10.000 kasus baru setiap tahunnya. Menurut pihak RSCM, di Indonesia terdapat 14 kasus dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir. Salah satu korbannya adalah komedian Ferrasta Soebardi alias Pepeng. ()