Bisnis.com, JAKARTA-Perkembangan film dokumenter di Indonesia dewasa ini semakin signifikan, khususnya dari segi produksi. Namun, jika ditilik dari sisi konten serta konsep, maih banyak hal yang perlu dibenahi.
Bagi sebagian praktisi perfilman, genre dokumenter dianggap sebagai sebuah karya yang sakral, karena membutuhkan konsistensi, komitmen, serta integritas yang tinggi. Bahkan, beberapa pengamat perfilman menilai dokumenter lebih sulit dibuat ketimbang film fiksi.
Sutradara Orizon Astonia adalah salah satu dari banyak pembuat film yang menganggap dokumenter sebagai karya seni yang lebih hakiki ketimbang film berskenario. Dia pun berpendapat geliat film dokumenter di Indonesia mulai ramai.
Hanya saja, sutradara yang terkenal lewat film pendekPingitanitu berpendapat saat ini sudah semakin jarang pembuat film dokumenter yang jujur pada konten yang disuguhkan pada audiensnya.
Lantas, bagaimana prospek lini dokumenter pada jagat perfilman di Tanah Air ke depannya? Berikut ulasan Orizon:
Sebelumnya apa sudah pernah menyutradarai film dokumenter?
Sejujurnya, saya paling takut membikin film dokumenter, karena derajat realitanya lebih tinggi [dibandingkan film fiksi]. Untuk membuat dokumenter, kita harus benar-benar meyakinkan penonton bahwa peristiwa dalam film itu benar-benar ada dan terjadi.
Masalahnya, seberapa jauh penonton bisa percaya kalau [konten] film tersebut benar-benar riil? Tidak ada jaminan,kan? Itulah sebabnya, saya belum berani membuat dokumenter dan masih lebih fokus pada film fiksi.
Namun, saya sering berpartisipasi dalam pembuatan/produksi film dokumenter.
Lalu, bagaimana Anda melihat perkembangan dokumenter di Indonesia dewasa ini?
Sejauh ini, saya rasa film dokumenter yang paling heboh [di Indonesia] adalahSenyap. Itu saja sudah membuktikan bahwa Indonesia ini sangat potensial untuk didokumentasikan. Ada banyak kejadian penting di negara ini.
Hanya saja, siapa [tokohnya] dan bagaimana [peristiwanya], itu yang perlu dikembangkan lagi.
Kalau secara produksi, film dokumenter di Indonesia tumbuh pesat sekali. Mungkin karena pembuatannya lebih murah dan tekniknya lebih simpel. Hanya saja prosesnya lebih rumit ketimbang film fiksi.
Namun, sebenarnya, untuk membuat film dokumenter modal yang paling utama adalah bagaimana idenya. Yang masih perlu dikembangkan dari dunia dokumenter di Indonesia adalah konsepnya.
Selain konsep dan ide kreatif, apalagi kritik untuk tren dokumenter di Tanah Air saat ini?
Yang pasti adalah kadar kualitas realitanya. Seringkali saya melihat film dokumenter, dan malah bertanya-tanya emang gini ya kejadiannya?. Menurut saya, film dokumenter itu harus bersifat netral.
Apa yang ditayangkan di dalam dokumenter itu harus netral dan tidak boleh memihak. Itu yang masih susah. Banyak film dokumenter yang dibuat di Indonesia ini cenderung memihak ke arah tertentu.
Selain itu juga prosesediting-nya. Ketika kita mendokumentasikan sesuatu dan diedit atau ada bagian yang dipotong, itu berarti ada realita yang disembunyikan. Proses pemotongan itu sendiri [membuat dokumenter menjadi] tidak riil.
Apa saja keunggulan film dokumenter dibandingkan genre lain?
Kelebihan yang pertama dan utama adalah kejujuran. Film dokumenter itu kadar kejujurannya lebih tinggi. Film pertama kali muncul juga karena dokumenter. Ibaratnya, membuat dokumenter itu bak membuat kitab suci, tidak bisa sembarangan, dan perhatikan semua elemen yang muncul.
Kelebihan kedua, dokumenter bersifat netral. Ketika ada orang yang mau memprotes [konten film], si pembuat film tidak berada di pihak manapun. Ketika dia menampilkan fakta yang pahit, itu adalah realita.
Namun, menurut saya, film dokumenter memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan film fiksi. Dari segi syuting, dokumenter itu mencari momen bukan menciptakan momen. Beda dengan film fiksi, yang momennya sudah diskenario.
Lalu, dari sisi produksi, membuat film dokumenter itu tidak jelas jadwalnya. Dari segi proses editing juga susah. Kalau film fiksi, kita bisa main potong untuk bagian-bagian yang tidak diinginkan.
Sementara itu, di film dokumenter tidak ada istilah cut danaction, jadi benar-benar sulit untuk memotong sebuahscene. Proses produksinya juga bisa memakan waktu sampai bertahun-tahun.
Selama ini ada anggapan film dokumenter sulit dikomersilkan. Apa sebabnya? Apakah karena kurangnya unsur dramatis dalam dokumenter?
Jangan. Sebaiknya jangan menambahkan bumbu-bumbu drama ke dalam dokumenter. Kalau sudah seperti itu, jangan sebut itu dokumenter. Sebut saja mockumentaryataudoku drama. [Sebagai pembuat film, saya] sangat sakit hati melihatnya, karena itu mengkhianati kharisma dokumenter.
Namun, bukan berarti film dokumenter tidak boleh dikomersialkan. Ada banyak film dokumenter yang sukses di pasar komersial. Namun, yang perlu diperhatikan, jangan sampai kualitas realitanya dikurangi.
Realita adalah kata kunci dari sebuah film dokumenter yang baik. Harus dipertimbangkan juga apakah kontennya riil dan apakah penonton akan percaya. Sebab, dokumenter tujuannya bukan untuk menghibur, tapi memperlihatkan kebenaran. Jangan memodifikasi realita.
Bagaimana Anda melihat prospek film dokumenter nasional ke depannya? Bagaimana peluang komersialisasi dokumenter ke depannya?
Pada dasarnya, barang seni itu susah dikomersialkan. Sebab, pada akhirnya seni itu identik dengan [cita rasa] personal. Hanya saja, kalau kita bicaa bisnis, ke depan saya rasa bisnis dokumenter akan lebih cemerlang.
Sebab, pengaplikasian dokumenter sekarang bisa untuk bermacam-macam, mulai daricompany profile,promosi,talk show, danreality show. Di industri film, orang-orang dari lini [film] fiksi juga sekarang mulai banyak yang mengarah ke tema-temareality show.
Jadi, apakahreality showtermasuk dokumenter?
Pada dasarnya,reality showadalah tayangan yang tidak menggunakan naskah. Namun, sekarang demi kepentinganratingsemua disetting sedemikian rupa. Tidak ada lagi wilayah jujur dalamreality show. Namun, konsep awalnya sebenarnyareality showadalah sebuah tayangan riil.
Lalu, ke depannya apakah Anda tertarik membuat film dokumenter?
Pastinya. Saya sudah sangat ingin membuat film dokumenter sejak lama. Namun, rasanya nanti ketika sudah usia 50-an, sudah mau pensiun. Sebab, membuat dokumenter butuh waktu yang sangat lama dan tidak bisa digarap sembarangan.
Mungkin saya hanya akan mendokumentasikan kehidupan saya, untuk kepentingan saya. Sebab, lagi-lagi, karya seni itu hal yang personal. Dokumenter itu berhubungan dengan hal yang dekat dengan pembuatnya.
Tentunya saya ingin [membuat dokumenter]. Hanya saja, belum tahu kapan.