Bisnis.com, JAKARTA -- Kondisi jalanan macet serta tekanan sosial ekonomi menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebagian besar orang tua, terutama para pekerja, menghabiskan waktunya di luar rumah.
Kondisi tersebut mengakibatkan berkurangnya waktu yang berkualitas bersama keluarga.
Namun demikian, tren yang menunjukkan semakin langkanya waktu bagi keluarga untuk membangun kebersamaan di rumah, bisa disiasati saat berada dalam perjalanan, terlebih ketika menghadapi kemacetan.
“Selama 15-30 menit adalah waktu yang cukup untuk quality time [waktu berkualitas] bersama keluarga saat terjebak dalam kemacetan,” kata psikolog Roslina Verauli.
Waktu berkualitas bersama keluarga ketika terjebak dalam kemacetan, jelasnya, bisa diisi dengan bernyanyi bersama atau berbagi cerita antara ayah dan ibu atau orang tua dan anak-anak.
Selain itu, seluruh anggota keluarga juga bisa mendiskusikan rencana liburan atau acara keluarga bersama di tengah kemacetan yang sedang dialami. “Tempat duduk yang saling berdekatan juga memungkinkan ibu memberikan sentuhan kepada ayah dan anak-anak untuk sekadar memberi perhatian.”
Menurut Vera, sangat disayangkan apabila waktu selama di perjalanan atau terjebak macet tersebut dihabiskan dengan saling berdiam diri seperti tidak saling mengenal
satu sama lain. “Karena kedekatan dengan keluarga bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Hal ini bisa membuat anak-anak semakin nyaman berada di tengah
keluarganya,” tutur Vera.
Di sisi lain, dengan terciptanya quality time dalam keluarga, tentunya bisa mencegah terjadinya tindakan kekerasan, terutama terhadap anak. Secara psikologis,
quality time bisa mempererat hubungan antaranggota keluarga, sehingga kondisi mental juga lebih sehat.
Menurut psikolog Elizabeth Santoso, terganggunya kesehatan mental anggota keluarga menjadi salah satu penyebab kekerasan terhadap anak. “Terjadinya kekerasan terhadap anak itu orang tua yang menderita stres semua. Yang paling bertanggung jawab menciptakan kondisi lingkungan itu orang dewasa, bukan anakanak,” katanya.
Dia menjelaskan kesehatan mental seseorang dipengaruhi oleh tekanan dalam kehidupan sehari-hari yang bisa mempengaruhi sikap seseorang kepada orang lain. “Kalau sekarang kesehatan mental di Jakarta bisa dipertanyakan. Lihat saja di jalanan [bagaimana] orang-orang berkendara,” tuturnya.
Menurut dia, tekanan hidup sekarang, khususnya di Jakarta, semakin tinggi karena keadaan sosial ekonomi dan persaingan kian berat. Kalau tekanan hidu makin tinggi, harus ada pendidikan kesehatan mental, sehingga bisa menjalin hubungan baik dengan anak, dengan istri, dan dengan orang lain.
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, sebagian besar kekerasan terhadap anak dilakukan olehorang terdekat seperti bapak kandung, bapak tiri, paman, dan juga tetangga.