Selain karena dapat merusak kesehatan, kini ada lagi satu alasan untuk berhenti merokok. Sebab, ada kemungkinan masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia akan segera memasuki era di mana perokok akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan yang berkualitas.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Stanford Prevention Research Center di California membuktikan bahwa seorang pengangguran yang juga perokok berat cenderung kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Bahkan, ketika pada akhirnya perokok tersebut mendapatkan pekerjaan, penghasilan yang didapatkan ternyata masih lebih sedikit dibandingkan dengan rekannya yang tidak merokok. Fenomena tersebut banyak dijumpai di San Fransisco.
Di antara orang-orang menganggur di kawasan San Fransisco Bay, 30% di antaranya bukan perokok. Rupanya, kalangan minoritas tersebutlah yang berhasil mengantongi pekerjaan lebih cepat dan lebih baik ketimbang kawan-kawannya yang merokok.
Riset yang dipublikasikan di JAMA Internal Medicine itu membuktikan bahwa merokok tidak hanya merusak kesehatan fisik, tetapi juga berpotensi mengganggu kondisi finansial seseorang.
Selama lebih dari 50 tahun orang-orang sudah paham bahwa merokok merusak kesehatan tubuh. Namun, sekarang ada bukti baru bahwa ternyata merokok juga dapat mengganggu jalan kesuksesan di dunia kerja dan menyebabkan Anda menerima gaji yang lebih kecil, tutur kepala peneliti Judith Prochaska, dikutip dariReuters.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa memang ada keterkaitan antara merokok dan pengangguran. Namun, masih belum jelas apakah orang-orang merokok sejak sebelum menganggur atau justru menganggur membuat mereka menjadi perokok.
Studi tersebut melibatkan 251 pengangguran di San Francisco sepanjang rentang waktu 2013-2015. Mereka terbagi atas 131 perokok rutin, sedangkan sisanya tidak merokok.
Dalam kurun waktu setahun, 56% responden yang tidak merokok berhasil mendapatkan pekerjaan terlebih dahulu. Sementara itu, hanya 27% dari responden perokok yang berhasil mendapatkan pekerjaan.
Hasil tersebut lantas dikerucutkan lagi dengan mempertimbangkan faktor pemengaruh, seperti kondisi lingkungan rumah, transportasi, dan rekam jejak kriminal. Ternyata, tetap ada perbedaan 24% antara responden tidak merokok dan perokok terkait kesempatan bekerja.
Riset lebih lanjut membuktikan bahwa di antara responden yang berhasil mendapatkan pekerjaan, rata-rata dari mereka yang tidak merokok mendapatkan penghasilan $5/jam lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang merokok.
Satu hal yang kami pelajari adalah responden perokok cenderung lebih memprioritaskan uang mereka untuk membeli rokok, ketimbang untuk membantu proses pencarian kerja, seperti biaya transportasi, pulsa ponsel, baju baru, atau perawatan tubuh, jelas Prochaska.
Selain itu, lanjutnya, terdapat pula bukti-bukti bahwa seorang pegawai perokok cenderung lebih sering mengambil izin sakit dan lebih mudah terpecah fokusnya saat bekerja dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok.
Hasil riset itu memang tidak mewakili atau menggeneralisasi kondisi di Indonesia, maupun di banyak tempat lain di seluruh dunia. Namun, untuk diketahui, merokok adalah sesuatu yang tidak lazim di San Francisco karena ketatnya aturan larangan merokok di tempat kerja.
Faktanya, di berbagai kota besar di Indonesia saat ini, aturan soal larangan merokok di tempat kerja dan di tempat umum juga sudah semakin diperketat. Itu berarti tidak menutup kemungkinan fenomena San Francisco tersebut bisa terjadi di Tanah Air.
Seiring dengan semakin getolnya upaya untuk menyisihkan dan memberantas kebiasaan merokok di tengah-tengah masyarakat, bisa jadi Indonesia akan memasuki era di mana para perokok memiliki prospek karir yang lebih redup ketimbang mereka yang tidak merokok.
Di tempat di mana merokok tidak dilarang di tempat kerja, hasilnya dari riset itu bisa saja berbeda. Namun, di banyak tempat, trennya adalah mengurangi angka merokok dan memperkuat aturan tempat kerja bebas rokok.
Jadi, besar kemungkinan hasil riset ini akan semakin relevan di banyak tempat di dunia. Bagaimana, masih belum mau berhenti merokok?